Jumat, 23 Desember 2011

[Update] My First Giveaway

Hmmm, tiba-tiba kepengen share buku-buku yang siap kukirimkan kepada teman-teman yang sudah ikutan program giveaway pertama di blog ini. Nah ini dia update buku-bukunya:



Dan, aku juga bikin video singkat tentang buku-bukunya. So, total buku yang akan kubagikan adalah 15 eksemplar. Detailnya pas tahun baru yaaaaa.....



Haha, ini dia video amatir yang kuunggah ke youtube:


----di sini kelanjutannya----

Senin, 19 Desember 2011

Resensi Novel: Satin Merah by Brahmanto Anindito & Rie Yanti

Lah, ending-nya kok kayak adegan Misteri Ilahi, yakkk?
Read from November 24 to December 18, 2011
3 out of 5 star



Judul: Satin Merah
Penulis: Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penyunting: Widyawati Oktavia
Proofreder: Christian Simamora & Gita Romadhona
Pewajah Sampul: Dwi Annisa Anindhika
Penata Letak: Dian Novitasari
Penerbit: Gagas Media
Tebal: xiv + 314 hlm
Harga: Rp37.000
Rilis: 2010 (cet. 1)
ISBN: 978-979-780-443-5

Nindhita Irani Nadyasari, atau yang lebih akrab dipanggil Nadya, selayaknya remaja mana pun yang ingin eksistensinya diakui oleh orang-orang di sekitarnya, karena menurutnya selama ini orang-orang selalu meremehkannya, termasuk orangtuanya yang dirasanya lebih menyayangi adiknya. Melalui usaha gigihnya, siswi SMA Priangan 2 Bandung ini berhasil masuk dalam jajaran finalis Siswa Teladan se-Bandung Raya. Untuk terus melaju dalam kompetisi ini, Nadya diharuskan menyusun sebuah makalah yang akan dinilai oleh juri. Maka, keseharian Nadya selanjutnya diisi dengan petualangannya mencari ide, mengumpulkan data, dan merupakannya secara nyata dalam print out yang harus dikirim ke dewan juri. Beruntung, ia dapat terhubung langsung dengan sastrawan-sastrawan besar Sunda sebagai rujukan sumber informasinya. Namun, tentu saja, liku-liku perjuangan Nadya menyusun makalahnya itu tak selalu berjalan mulus. Bahkan selanjutnya, satu demi satu narasumber yang diwawancarainya terbunuh secara misterius. Ada apa dengan para narasumber itu? Apa hubungannya dengan teori Satin Merah yang dikembangkan oleh salah seorang sastrawan besar Sunda? Lalu, apakah akhirnya Nadya berhasil menggenggam titel Siswa Teladan se-Bandung? Temukan jawabannya di dalam novel duet Brahmanto Anindito dan Rie Yanti ini.

Wow. Wow. Speechless. Aku jelas tak sering membaca novel dengan tema unik seperti ini. Bagus. Menurutku agak menjurus psychological thriller gitu. Sebaiknya sih dibaca sekali habis, biar intensitasnya terjaga. Bagiku yang gampang ter-distract membaca dengan teknik taruh-ambil-taruh-ambil agak mengurangi ketegangannya. Ditambah lagi aku yang sudah mulai pelupa, sehingga suatu detail gampang sekali missing dan harus mengais-ngais lagi ketika meneruskan baca dan menemukan adegan yang terkoneksi dengan detail yang terlupa itu.

Jujur saja, membaca kata pengantar dari novel ini saja, aku langsung suka. Terasa benar perbedaan nuansa yang akan kudapat ketika membacanya. Dan, benar saja. meski pada awalnya sosok Nadya tak ubahnya seperti gadis SMA kebanyakan, namun nyatanya duo penulis novel ini membebaninya dengan tugas menjadi unpredictable person sepanjang cerita. Sangat terasa bagaimana unsur psikologi menjadi pengait bagi setiap adegannya. Sebagai pembaca, aku dibuat terombang-ombing dengan sikap Nadya yang labil. Terkadang manis, terkadang sinis, dan terkadang bengis. Wow.

Meskipun demikian, jangan berharap duo penulis ini menghadirkan seorang tokoh detektif yang mencoba mengurai fakta. Aku justru disuguhi emosi nyata dari pelaku. Penulis menghanyutkanku dalam dilema besar seorang Nadya yang ambisius. Aku pun dari mula sudah diperkenalkan siapa pelaku, siapa korban, dan bagaimana pelaku menghabisi korbannya. Jadi, sisi misterius itu memang tidak dibungkus sejak awal. Apa sebab? Aku nggak tahu.

Ada topik besar yang coba dihadirkan oleh duo penulis ini, sepertinya. Me? I don’t know. Hahaha. Typically, Nadya is a rich girl. Dia butuh diperhatikan. Dia menuntut keadilan. Perlakuan seimbang dari orangtuanya. Respek dari teman-teman sekolahnya. Kebanggaan dari para gurunya. Dia sudah mendapatkannya, namun dia membutuhkan lebih banyak lagi. Dia tak mau menjadi Nadya yang biasa saja. Sebagaimana tersirat dalam tagline novel ini, “aku cuma ingin jadi signifikan.”

Zaman SMA dulu, aku pernah membuat sebuah cerpen amatiran bertema pembunuhan/pemerkosaan yang dikoreksi oleh guru bahasa Indonesiaku, dan beliau mengingatkanku untuk selalu memberikan alasan rasional bagi setiap konsekuensi yang aku sematkan pada masing-masing tokoh. Dan, sedikit banyak aku dapat melihatnya di novel ini. Mengapa Nadya tumbuh menjadi remaja seperti itu. Apakah sikap Nadya itu termasuk yang impulsif ataukah memang terbentuk dari sejak ia kecil. Flashback di salah satu bagian novel ini menjawab semua pertanyaanku terkait hal itu.

Dari semuanya, yang membuatku tercengang [sayangnya, dalam arti negatif] adalah endingnya. Oh, GOD! Apakah mereka serius mengakhiri serangkaian misteri ini dengan adegan itu. Aseli, sepertinya mulutku langsung ternganga gitu dan... aku tak mau percaya bahwa penulis memilih ending yang.... ah, masak dibikin gitu sih?. Absolutely, ini unsur subjektifku. Mungkin aku harus membaca ulang lagi [nanti] untuk memecahkan misteri yang masih berputar di kepalaku, mengapa penulis memilih ending begitu? Huhuhu.

Overall, novel ini menarik. Terlepas dari mengapa pelaku begitu mudah menghabisi korban-korbannya [telah dibeberin modusnya sih], emosiku dibuat teraduk-aduk karena masih nggak percaya penulis dengan ‘tega’ mengubah tokoh utama yang awalnya lovable itu. Sebagai pembaca cerewet yang gampang nyerah disuruh menggunakan ‘logika’, aku butuh sekali banyak penjelasan atas beberapa adegan yang ada.

Oiya, aku teriak donk ya, mana unsur romantisnya? Kalau boleh berangan-angan, sepertinya akan lebih menarik jika ada sesosok kekasih di sisi tokoh utama. Bisa jadi partner in crime [jadi inget film Radit dan Jani]. Seru aja gitu [dalam bayanganku].

Typo-nya dikit, selamat ya.

Ngomong-ngomong, masih terjadi perdebatan dalam menafsir sampulnya [atau itu halusinasiku aja, ya?]. Beberapa temen bilang itu kain satin [secara judulnya satin, kan? tuhh, di sebelah contoh kain satin], tapi aku menganggapnya tetes darah yang dituang dalam air. Lagipula, Satin yang dimaksud dalam judul tidak berarti harfiah, kan?

Selamat membaca, kawan!
----di sini kelanjutannya----

Selasa, 13 Desember 2011

I do apologive for my giveaway (Yang Terlambat)

Berapa bulan? haduhhh...udah berbulan-bulan, ya?



Kumohonkan maaf yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang sudah dengan antusias mengikuti program ini. Saya sendiri sebal, kesal, dan ingin mencakar diri sendiri kalau ingat belum memilih dan mengumumkan siapa yang akan saya kirimi buku yang saya janjikan. Saya tak akan memberi alasan, karena nanti hanya akan terlihat saya mencari-cari alasan belaka. Dan, saya tidak ingin berjanji muluk-muluk lagi, yang jelas sebelum bunyi terompet tanda terbitnya matahari baru di tahun 2012, saya akan melaksanakan program my first giveaway ini.

Again, I am really sorry for this inconvenience. Secepatnya di blog ini, twitter, facebok, dan akun goodreads, saya akan mengumumkan siapa teman yang memperoleh buku koleksi my giveaway ini.

I do really apologize, temans! Thank you for your patience.
----di sini kelanjutannya----

Resensi Novel Fantasi Terjemahan: Once a Witch by Carolyn MacCullough

Read from November 27 to December 06, 2011, read count: 1
3,5 star...





Kerumitan dunia sihir

Bagian awal novel ini tidak memberikan sensasi kejut yang hampir membuat saya berhenti karena bosan. Apalagi dari segi kalimat per kalimatnya terasa sulit dicerna otak saya yang pas-pasan ini. Entahlah, apakah dari novel aslinya memang sulit ataukah tersebab gaya penerjemahannya. Saya tak tahu. Yang jelas, memang ada sedikit ganjalan ketika menyimak rangkaian kalimatnya. Banyak sekali adegan yang dibuat dengan kata berulang:

...meliuk-liukkan jari-jari tangannya dalam gerakan-gerakan rahasia, berkomat-kamit dalam bahasa yang hanya diketahui olehnya saja.

Liuk-liuk, jari-jari, gerakan-gerakan, komat-kamit...hmm, begitu banyak kata berulang dalam satu baris kalimat saja. Dan, hal tersebut terjadi hampir di banyak bagian novel ini. Saya jadi kepengin mengecek naskah aslinya, apakah adegan tersebut memang berulang. Just curious.

Untunglah, saya tidak jatuh dalam kebosanan yang berkelanjutan. Begitu sampai pada adegan Tamsin, Rowena, dan Alistair dipertemukan dalam satu scene, suasana mencekam dunia sihir kuno mulai menyedot perhatian saya. Dimulai dari situlah, Once a Witch menyihir saya hingga ke lembar halaman terakhirnya. Beruntung, saya memutuskan untuk membeli novel Young Adult yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Ufuk yang harganya dipotong 40% ini di Indonesia Book Fair 2011 beberapa waktu lalu.

Pada saat ini, menemukan cerita Young Adult bertema paranormal atau supranatural dengan taburan tokoh-tokoh dunia dongeng: vampir, werewolf, peri, shifter, menjadi sangat mudah. Namun, menemukan novel paranormal atau supranatural dengan racikan baru lah yang susah. Bagi saya, Carolyn berhasil menemukan ramuan baru dengan membangun sebuah dunia sihir kuno yang suram, mencekam, dan sulit ditebak bagaimana ujungnya. Meskipun tidak terlihat adanya makhluk-makhluk aneh dunia ghaib, namun beberapa unsur fantasy mampu menjaga intensitas ceritanya.

Kisah tentang penyihir ber-Talenta, perjalanan melintas waktu, perjanjian berdarah, pertarungan hidup-mati antara penyihir putih dan penyihir hitam, adalah unsur-unsur fantasy yang cukup untuk membawa imajinasi saya bergentayangan menembus batas-batas logika dan rasionalitas. Meskipun, premisnya tetaplah sama, penyihir putih dijamin menang, namun Carolyn mampu menjaga konfliknya agar ending tidak berakhir dengan mudah. Ia menyelipkan twist di sana-sini yang bikin saya gemes. Dan, saya yang sudah menyadari bahwa buku ini memiliki sekuel tidak lagi merasa canggung begitu ending dibuat menggantung.

Namun, meskipun berhasil membuat ramuan baru, toh sebenarnya hal tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Tapi, saya tak akan menghakiminya. Pada kondisi saat ini, saya cenderung mengabaikan kebaruan cerita. Apabila ketika membaca merasa menemukan sesuatu yang baru ya... “alhamdulillah ya, sesuatu banget..” tapi kalau tidak ada yang baru ya nggak papa, lha penulis dan buku yang terbit saat ini sudah jutaan, wajar saja jika ada satu-dua adegan atau bahkan benang merah yang hampir sama satu dengan yang lain. Asal tidak secara terang-terangan menjiplak saja. Di novel ini, saya kebayang serial Heroes, serial X-Men, Harry Potter, bahkan Vampire Academy. Ya sudahlah, dinikmati saja.

Tokoh Tamsin dengan mudah menarik perhatian. Dia yang diprediksikan oleh sang nenek akan menjadi yang paling kuat di antara keluarganya justru tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia memiliki Talenta luar biasa. Di sini, bayangan saya meluncur pada sosok Harry Potter yang baru menyadari bahwa dirinya adalah seorang penyihir ketika disambangi Hagrid dan diundang bersekolah ke Hogwarts. Tamsin, meski dengan jalan yang berbeda, hampir memiliki garis nasib yang sama dengan Harry Potter, bahwa pada akhirnya dia tahu dia juga ber-Talenta. Bahkan, sesuai dengan ramalan, ia memiliki Talenta yang luar biasa yang diincar oleh sang penyihir hitam.

Karakter Gabriel sangat cocok disandingkan dengan Tamsin. Gelenyar asmara di antara mereka berhasil membumbui alur maju mundur yang disusun oleh Carolyn sehingga tak jarang menerbitkan sesimpul senyum di bibir dan keinginan untuk bilang, “ohhh...co cwittt...” dengan gaya Fitrop.

Pada akhirnya, ending menggantung memang bikin nanggung. Saya terpaksa harus menunggu buku keduanya untuk mengetahui kelanjutan kisah ini. Apakah akan semakin suram ataukah akan ada banyak sisi cerah yang dihadirkan oleh Carolyn. Dan, by the way, ini akan jadi berapa seri? Trilogi? Tetralogi? Apa banyak-logi? Semoga cukup beberapa seri saja.

Kelemahan mendasar dari novel ini, bagi saya, adalah kerumitan kalimat-kalimatnya. Termasuk gaya pengulangannya sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya. Nanti saya coba bandingkan dengan edisi bahasa Inggrisnya deh.

Konflik utama baru menyentuh beberapa karakter saja, padahal konflik tersebut berpotensi menjadi sangat besar, sebesar ancaman Voldemort bagi dunia sihir Harry Potter. Di novel ini, ancaman itu masih terbatas pada keluarga Tamsin dan beberapa karakter selingan di lingkungan mereka. Saya berharap konflik berkembang secara signifikan di buku berikutnya.

Saya sudah menyiapkan diri untuk menemukan typo ketika membaca novel ini, berdasar pengalaman membaca novel produksi penerbit ini, tapi saya tetap saja terkejut dengan jumlah temuan saya, satu strip post-it penanda typo saya habiskan untuk novel ini. Berikut adalah beberapa temuan typo tersebut:

(hlm 9, 90, 220) tanda baca titik (.) tidak ada
(hlm 16) ras = rasa
(hlm 30) menggeluyur = mengeluyur (berkeliaran = kata dasar keluyur?)
(hlm 40) terselip tanda baca (?) yang tidak perlu
(hlm 42) ...cokelat. “kesukaanmu,” kata Silda.... huruf k pada kata kesukaanmu harusnya kapital
(hlm 64) Mendadak, ibuku mendadak muncul.... redundansi kata “mendadak”
(hlm 68) seksama = saksama
(hlm 90) pertam = pertama
(hlm 121, 127) konsistensi penulisan frekuensi ke dua dan kedua (belum tahu juga sih, beda penggunaan di antara keduanya)
(hlm 126) Bagaimana kalau kita benar-benar, benar-benar hati-hati? ...redundansi kata benar-benar.
(hlm 132) Tidak, dialah mendekat dan mengajakku menarikan dansa itu. ....lebih enak terdengar jika diselipkan kata “yang” di antara kata “dialah” dan “mendekat”.
(hlm 141) bebisik = berbisik
(hlm 157) gosokkan = gosokan
(hlm 158) ...hampir terlompat keluar dari kulitku saat sesuatu berbisik di lenganku... #eh? Berbisik itu bukannya kategori indera pendengaran ya? Berbisik di kulit? Maksudnya apa?
(hlm 169) ...keberatan untuk untuk naik kereta, tapi ibuku... redundansi kata “untuk”.
(hlm 195) dipenuh = dipenuhi
(hlm 239) ...yang marah muncul ke di lengannya. ....redundansi kata “ke”.
(hlm 242) “Toh aku tidak sedang sedang menggunakan... redundansi kata sedang.
(hlm 260) mantra itu jangkauan tidak terlalu jauh. ...sebaiknya ditambahkan “nya” pada kata “jangkauan”.
(hlm 264) menengggelamkan = menenggelamkan
(hlm 280) merubah = mengubah
(hlm 292) menganggantungkannya = menggantungkannya
(hlm 302) Tam, aku ada bar di Lion’s Head. ...melihat konteks kalimat yang tidak merujuk pada kepemilikan bar tersebut, maka sebaiknya diberikan tambahan kata “di” di depan kata “bar”.
(hlm 303) Agatha terkikik-kikik sedikit, Agatha-nya kikikan khas Agatha dengan dua nada tinggi.... kalimat ini rancu, saya tak paham maksudnya. Mungkin lebih baik kata “Agatha-nya” dihilangkan saja.
(hlm 309) Gabriel memberikan menanggapi dengan suara datar... lagi-lagi kalimat rancu, lebih baik dihilangkan kata “memberikan” atau mengubah kata menanggapi menjadi “tanggapan” atau “respons”.
(hlm 319) ...dan aku melempar pisau ke itu ke pojok ruangan.... redundansi kata “ke”, sebaiknya “ke” yang pertama dihilangkan.
(hlm 322) ...membuka mulutku. tak ada kata. Aku tidak... huruf t pada kata “tak” seharusnya kapital.
(hlm 337) tengah-tenah = tengah-tengah
(hlm 359) cengeramannya = cengkeramannya

Sebenarnya masih ada beberapa lagi typo setelah halaman 359 itu, namun dikarenakan persediaan post-it saya habis, saya tak lagi kuasa menandainya sehingga terlupa di mana saja typo tersebut. Cukup mengganggu, bagi saya. Karena lumayan banyak typo-nya. Dan, sudah pasti lewat dari batas toleransi typo yang saya tetapkan (5 kesalahan). Semoga saja, pada cetakan selanjutnya (jika akan dicetak ulang) atau novel lain terbitan Ufuk dapat ditingkatkan kualitas cetakannya.

Yang saya salut sih, Ufuk ini sangat memanjakan pembaca dengan memberikan keadilan bagi pembaca Indonesia untuk mendapatkan cover sesuai buku aslinya (versi lain). Hampir beberapa buku terjemahan diterbitkan dengan cover aslinya. Dan, saya kebetulan memang menyukai cover-cover novel Young Adult versi aslinya.

Baiklah, ini hanyalah sekadar review subjektif saya. Bagi Anda penyuka Young Adult, tak ada ruginya mengoleksi buku ini. Selamat membaca, kawan!
----di sini kelanjutannya----

Minggu, 28 Agustus 2011

Resensi Novel Teen Lit: Wiwien Wintarto - The Unfunniest Comedy

Mencari keseriusan dalam lawakan cinta

Rate: 3,5 out 5 star




Judul: The Unfunniest Comedy
Pengarang: Wiwien Wintarto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Teen lit
Tebal: 272 hlm
Harga: Rp38.000 (disc 25% Toga Mas Surabaya)
Rilis: Agustus 2011 (Cet. 1)
ISBN: 978-979-22-7008-2

Summary:
Nyemplung sebagai pelatih tim lawak Ora Obah (nggak gerak) yang kebanyakan anggotanya adalah murid-muridnya di teater Obah, membuat Bimo mengalami petualangan tidak biasa yang membuatnya menemukan obat penawar kesendirian yang selama ini diabaikannya. Tapi, tentu saja, petualangan tidak menarik jika terjadi datar dan mulus saja. Serangkaian peristiwa yang melibatkan para personel Ora Obah: Vian, Ruben, Odi, Ardi, dan beberapa nama lain menghadirkan liku-liku kehidupan yang sudah pasti tak akan dilupakan oleh seorang seniman seperti Bimo.

I am a loyal reader, you know.
Sekali aku menyukai karangan seorang pengarang, percayalah, aku bakal menyukai karangan-karangannya yang lain. Termasuk karangan si mas yang satu ini, Wiwien Wintarto, yang sudah “menjebak”ku dalam kenikmatan membaca. Natural dan beda. Satu dari sedikit novel (teen lit atau metropop) yang tidak bersetting di Jakarta. Bahkan, hampir keseluruhan novel karya WW (yang sudah kubaca) bersetting di Semarang dan sekitarnya. Nice choice! Biar nggak Jakartasentris.

Tentang teen lit terbarunya ini, hmm, dengan banyaknya karakter yang diciptakannya plot tersusun kompleks namun berhasil diberikan pilihan pemecahan permasalahan masing-masing. Easy one? Mungkin, iya, tapi mau bagaimana lagi? Dibuat rumit juga malah nggak selesai-selesai masalahnya, kan? Yang pasti, menurutku, solusi yang ada sangat unpredictable yet logic.

Oke, benang merah ceritanya adalah tentang grup lawak yang mencoba eksis di dunia showbiz namun untuk beberapa part tidak begitu mengundangku untuk ikut tertawa, apa karena judulnya unfunniest comedy? Komedi paling nggak lucu? Hahaha, salahkan judulnya. But, ada juga sih celetukan ringan nan kocak yang mau nggak mau bikin aku ngakak. Not bad. Lucu, segar, menghibur.

Gaya menulis, check. Plot, check. Karakter, check. Diksi, check. Konflik, check. Ending, check. What else? Ehmm, secara tersirat atau pun tersurat ada banyak ide, entah aslinya memang ingin ditonjolkan atau tidak, yang disampikan oleh pengarang tentang apa saja. Tips persahabatan dan percintaan. Taaruf versus pacaran. Keterbukaan. Dan, berjuanglah dengan logika. Cinta itu membutakan, tapi tetap pakailah logika. Emosi hanya akan membakar dan menghanguskan semua yang ada. Maka, jika tidak ada yang tersisa, bagaimana bisa berjuang untuk cinta?

Widihhh, another John Mayer in the novel. OH-MY-GOD! He’s everywhere. Gosh! Me: fine, tapi ya... agak curious aja.

Oya, frankly, I hate the cover. Nggak banget, menurutku. It could be better. It suppossed to have a better reppresentative cover. Tapi, yahh...yang lebih tahu soal beginian kan yang nerbitin, ya. Ini mah subjektivitasku sebagai pembaca aja.

Beberapa hal teknis yang perlu mendapat concern:
1. Aba-aba baris berbaris itu “tegap, grak!” apa “tegak, grak!”?
2. Di hlm. 103, Bimo bilang akan bertemu Ibu Renata yang adalah asisten GM Novotel, tapi kenapa di hlm. 122 Bimo serasa baru ngeh kalau ibu Renata itu ‘ternyata’ asisten GM Novotel?
3. Inkonsistensi penggunaan kata ‘improv’ (hlm. 221) dan ‘improf’ (hlm. 214, 246)
Kenapa gue jadi berasa nyari-nyari kesalahan doank, ya? Hahaha, no biggie lah ya. Just so you know aja.

Selamat membaca, kawan!




----di sini kelanjutannya----

Rabu, 10 Agustus 2011

Resensi Novel Fantasi: Stephenie Meyer - The Short Second Life of Bree Tanner

Ketika nasib telah ditentukan…



Judul: The Short Second Life of Bree Tanner (Kisah Singkat Bree Tanner)
Penulis: Stephenie Meyer
Penerjemah: Monica Dwi Chresnayani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Edisi: Hardcover
Tebal: 200 hlm
Harga: Rp65.000 (disc. 50%)
Rilis:September 2010
ISBN: 9789792261370

Bree Tanner masih terus berusaha mengingat kenangan sebelum ia akhirnya menjadi seperti sekarang, seorang vampir pengisap darah yang memiliki jadwal rutin pada malam-malam tertentu untuk berburu. Awalnya hanyalah kekosongan yang memenuhi ‘hidup’ barunya, namun semenjak bersahabat lalu makin dekat dengan Diego, dan Fred yang selalu menjadi tempatnya bersembunyi, Bree mulai menyadari ada hal lain yang perlu dikhawatirkannya ketika secara tak terencana ia dan Diego mendengar rencana busuk ketua kawanan vampir, Riley, dan perempuan yang mengubahnya menjadi vampir di sarang cinta mereka. Sampai akhirnya ia terlibat dalam sebuah pertempuran yang mempertemukannya dengan keluarga The Cullens.

Novella ini merupakan sempalan (spin-off) dari buku ketiga tetralogi fenomenal Twilight Saga, karya Stephenie Meyer. Sebagaimana disebutkannya dalam kata pengantar buku ini, Stephenie menjelaskan bahwa ia sedemikian terpikat pada sosok Bree Tanner yang sebenarnya hanya memiliki secuil peran dalam bentangan kisah Eclipse. Biasanya, dia dengan gampang mengabaikan tokoh-tokoh sekali lewat yang ia ciptakan, namun tidak pada sosok Bree Tanner, sehingga kemudian lahirlah novella ini.

Menelusuri jejak Bree cukup menghibur di tengah ketidakpastian niat Stephenie apakah ia masih akan merealisasikan rencananya untuk menuliskan kisah Twilight Saga dari sisi Edward Cullen sebagaimana pernah ia ungkapkan dulu. Bentuk buku ini yang novella juga kurasa cukup untuk sekadar ikut merasai bagaimana pergolakan batin si gadis 15 tahun yang terpaksa ikut terjun dalam pertempuran yang sama sekali tak ia pahami tujuannya itu. Selintas kisah romantis yang digulirkan penulis juga cukup memberikan warna tersendiri bagi kehidupan vampir baru yang dipenuhi nafsu memburu dan meminum darah sebanyak-banyaknya. Tak pelak, aku cukup terhibur menikmati halaman per halaman buku ini demi menunggu saat Bree akhirnya bertemu dengan kawanan The Cullens sehingga aku bisa mendapati titik persinggungan antara kisah hidup baru Bree dengan kisah panjang Bella Swan dan keluarga The Cullens.

Jujur, aku lupa pada sosok Bree Tanner dalam novel Eclipse. Yang terlintas dalam benak ketika melihat buku ini di-launching adalah sosok Riley, vampir cowok yang diperalat oleh Victoria. Tapi, ketika googling sana-sini barulah ngeh kalau Bree itu adalah si gadis kecil yang tersisa ketika pertempuran maha dahsyat antara The Cullens plus kawanan Shifters versus Victoria dan Riley berakhir dan keluarga Volturi datang ke TKP.



Meskipun tidak seratus persen, tapi aku menyukai buku ini. Aku menyukai bagaimana satu buah peristiwa dipandang dari sudut lain, oleh orang lain, dengan perasaan yang lain. Bree bukan tokoh antagonis murni, tapi kebetulan ia mendapat peran dalam kubu “si jahat” di novel Eclipse, dan aku adalah salah seorang pembaca yang mendamba bisa membaca suatu kisah yang ditulis dari PoV tokoh antagonis. Aku ingin ikut menyelami kehidupannya. Merasai segalanya sehingga terkuak alasan mengapa si tokoh itu memiliki takdir sebagai tokoh antagonis. Apakah si jahat itu sudah jahat sejak lahir ataukah ada suatu keadaan yang mengubahnya dari “si baik”menjadi si jahat. Rasanya menyenangkan bisa berenang-renang dalam kisah psikologis semacam itu.

Soal gaya menulis Stephenie atau gaya terjemahan Monica, no complain. Aku menikmatinya, itu yang utama. Plotnya sederhana, memang, karena novella ini hanyalah jembatan kecil yang dibangun Stephenie untuk membantu memahami pikiran seorang vampir baru yang masih haus darah, liar, dan tak terkendali. Letupan romansa yang ada antara Bree dan Diego juga secara mengejutkan terasa manis sekali. Nyaman rasanya melumat buku ini serupa menggigit sebutir stroberi segar yang baru dipetik. Yummy
----di sini kelanjutannya----

Minggu, 07 Agustus 2011

Resensi Buku Non Fiksi: Pandji - Nasional.Is.Me

Indonesia Gak Butuh Revolusi


Judul: Nasional.Is.Me
Penulis: Pandji Pragiwaksono
Penerbit: Bentang Pustaka
Penyunting: Ikhdah Henny
Pemeriksa Aksara: Nunung
Tebal: xiv + 330 hlm
Harga: Rp54.000
Rilis: Juli 2011 (Cet. I)
ISBN: 9786028811538

Gue bukannya mau menjelek-jelekkan negara lain, gue mau bilang bahwa Indonesia itu tidak buruk-buruk amat.

Hanya saja orang Indonesia terlalu sering fokus pada kesalahan Indonesia sehingga lupa untuk menyadari kebaikan dan potensi Indonesia.


Awal-awal tayang di MetroTV, aku selalu berusaha untuk menonton acara “Provocative Proactive” yang aku tahu dicetuskan oleh Pandji. Acaranya segar, nggak seperti acara sindiran politik lain yang terkesan nyinyir. Tapi, lama kelamaan kok ya kadang ikutan nyinyir juga. Jadilah, aku cuman sesekali waktu saja menyempatkan melirik aksi Pandji and the gank di acara itu.

Membaca buku ini juga imbas dari kegemaranku menonton acara itu. Ketika menemukannya kali pertama di stand Mizan di Pesta Buku Jakarta 2011, tak perlu berpikir dua kali untuk mencomot buku dengan kaver keren dan judul yang cukup persuasif ini. Sewaktu membacanya pun cukup menyenangkan, bahkan di saat-saat tertentu mengobarkan semangat nasionalisme yang bersemayam di kalbu. Dengan bahasa yang se-persuasif judulnya, Pandji menelusup ke bilik hati, mengetuk, dan mempertanyakan tiga hal:
1. seberapa kenal kamu pada Indonesia-mu?
2. apa passion-mu?
3. apa karya yang telah kau hasilkan untuk masa depan bangsamu?

dan aku harus merenung, mencoba mencari jawaban yang pas untuk ketiga pertanyaan itu. Ketemu? Enggak! Yang ada cuman tinggal rasa percaya diri sendiri untuk merealisasikan jawabanku atas pertanyaan itu kelak untuk masa depan bangsaku.

Pandji juga secara lantang mendaftar apa yang sudah diupayakannya untuk kemajuan Indonesia. Nyombong? Menurutku tidak. Rangkaian kalimatnya sih memang memantik rasa untuk berteriak, sok banget sih lo! Tapi justru kata itu luruh dengan sendirinya ketika tiga pertanyaan di atas kurenungkan kembali. Pandji hanya sekadar menunjukkan jawabannya atas tiga pertanyaan itu. Dia ingin pembaca terbangkitkan jiwanya untuk bertindak, untuk bergerak, untuk berikhtiar, bukan hanya diam, menggerutu, protes, mengeluh pada Indonesia.

Dalam buku ini, Pandji mengupas semangat demokrasi melalui reaksi kita pada geliat bangsa Indonesia, ketika: Timnas Sepakbola harus berjuang mati-matian menembus kompetisi internasional, apa yang kamu lakukan?; pemboman teroris yang mengoyak negeri hingga terwujud gerakan #IndonesiaUnite, apa yang kamu lakukan; dan isu-isu keindonesiaan lainnya. Sebagaimana disebutkan di bagian pengantar, buku ini semula berbentuk e-book dan disebarkan secara gratis oleh Pandji. Hal tersebut jelas menunjukkan betapa ia adalah anak muda yang mencintai negaranya secara maksimal. Dia tidak tinggal diam. Dia berusaha. Kamu? A…ku?

Oke, untuk pemeriksa aksaranya mohon untuk lebih jeli lagi yaa…masih cukup banyak typo di buku keren ini. Mengganggu sih enggak, tapi kalau lebih rapi lagi secara teknis, pasti makin siiiippp kan bukunya.

Oiya, buku ini tentu saja ditulis dari sudut pandang Pandji yang pastinya banyak sekali unsur subjektivitasnya, apalagi ada di beberapa tempat ia juga mengutip sumber yang tidak dicantumkan secara lengkap. Tidak semua juga pemikiran Pandji harus kamu (aku) terima, kan? Yang sudah jelas adalah ajakannya untuk lebih mengenali Indonesia kita tercinta, memukan passion masing-masing, agar kita bisa membuktikan bahwa kita punya karya terbaik untuk masa depan bangsa ini.

MERDEKA!

Indonesia adalah negara yang luar biasa.
Saya tahu karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri.
Bukan karena saya baca.
……
Mengubah hari ini, bisa jadi sudah terlambat. Pertanyaannya, maukah Anda jadi orang yang mengubah masa depan?
Maukah?
Ataukah Anda hanya mau jadi orang yang ngomel-ngomel saja?
(hlm. 327)
----di sini kelanjutannya----

Sabtu, 06 Agustus 2011

My Giveaway: Buku Gratis Buat Yang Mau

Ada yang mau buku-buku ini?



Yang akan aku kasih ke kamu:
2 eks. Perang Bintang by Dewie Sekar (Metropop)
1 eks. Tarothalia by Tria Barmawi (Metropop)
1 eks. Kedai 1001 Mimpi by Budi "Vabyo" Valiant
1 eks. The Iron King (terjemahan) by Julie Kagawa

Sedih pastinya kalau melihat buku bagus tapi sudah masuk kotak obralan. Bukan sekadar diskon, tapi OBRAL. Benar-benar tinggal beberapa rupiah saja buku itu dijual. Hmm, tapi selera pembaca kan beda-beda sih, ya? Kalau menurutku bagus, belum tentu menurutmu juga bagus, iya, kan?

Nah, beberapa buku di atas tadi diobral abis-abisan sama penerbitnya. Nggak tega banget rasanya. Makanya, aku dengan sukarela mencomot beberapa dari rak obralan, dan pengin kubagi gratis bagi siapa saja yang berminat. Ada yang mau?

Caranya? Seperti program giveaway dari para blogger lainnya, kamu cukup follow blog ini, dan yang beruntung nanti berdasarkan undian. Silakan, bagi yang berminat.
----di sini kelanjutannya----

Resensi Komik Islami: vbi_djenggotten - 33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, Jaga Mulut

Belajar Hadis pun bisa sambil tersenyum



Judul: 33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, Jaga Mulut
Penulis: vbi_djenggotten
Ilustrator: vbi_djenggotten
Penerbit: Zaytuna (Ufuk Publishing House)
Tebal: 126 hlm
Harga: Rp29.000
Rilis: Mei 2011 (Cet. I)
ISBN: 9786029159004

Awalnya aku sempat melihat Kak Vera merekomendasi buku ini beberapa waktu silam, terus ketika ngebahas materi siaran untuk hari Minggu tanggal 7 Agustus nanti, buku ini kembali tersebut menjadi kandidat buku yang akan dibahas. Oke, jadinya aku menyempatkan diri ke tokbuk langganan buat mencomot buku ini, dan kayaknya lagi kena diskon...senangnya (gak tahu pasti sih, struk udah telanjur dibuang, hehehe).

Apakah urat tawaku sudah putus? Kok aku nggak nemu kocaknya nih buku sampe menjelang pertengahan, ya? Baru deh pas masuk cerita tentang 7 Golongan Dalam Naungan (hlm. 53) ke belakang, senyum-senyum kecil mulai berhamburan di bibirku. Seru juga.

Hmmm, tapi ke belakang, entahlah, aku mulai menemukan kembali kekurangsreganku pada buku ini. Banyak cerita yang dibuat seolah menyindir tokoh-tokoh (pemimpin asli) negeri ini. Bagus sih, ada sentilan-sentilun politik yang pas, tapi kok jadi kurang masuk bagi sebuah buku bermuatan agama yang pada bagian lain menceritakan seputar larangan mengolok-olok orang lain, jadinya yaaahhh.... agak sedikit kecewa...coba tokoh yang dihadirkan itu bukan tokoh nyata, tokoh rekaan saja, jadi nggak membuat pembaca bersuudzon pada si tokoh tersebut.

Aku pun tergelitik ketika pas waktu senggang baca di kantor, temen ngelihat buku ini tergeletak di meja, terus diambilnya, lalu dia bertanya, "Hadis-hadis Bukhari-Muslim itu semuanya shahih, nggak sih?" nahhh...gelagepan deh aku, iya ya, apakah semua hadis riwayat Bukhari-Muslim itu shahih? Kalo denger-denger ceramah sih yang paling banyak disitir ya hadis riwayat mereka, tapi apa benar semuanya shahih? Hmm, silakan di-googling sendiri yaaa.... Aku sih berharapnya, si pembuat bukunya hanya menampilkan hadis yang shahih saja, lebih oke lagi kalo di tiap hadis yang disitir diberikan keterangan derajat keshahihannya.

Overall, buku ini bagus. Sekalian di bulan Ramadhan, silakan dibaca buku ini. Bahkan si temen yang kuceritain tadi juga tertarik buat membacanya. Keren lah, congratz buat yang bikin.
----di sini kelanjutannya----

Selasa, 02 Agustus 2011

Resensi Novel Teenlit: Ken Terate - Pieces of Joy

“…Kami ini laki-laki, Joy, bukan dukun. Kami nggak bisa membaca pikiran.” Ronal. (hlm. 159)



Judul: Pieces of Joy (Buku #3 - My Friends My Dreams)
Penulis: Ken Terate
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Kategori: Teenlit
Tebal: 248 hlm
Harga: Rp40.000
Rilis: Juli 2011
ISBN: 9789792271263

Joy
Ahh, aku punya cowok? Yang benar? Serius? Aku? Si gadis buntelan pemilik ladang jerawat paling produkstif se-Indonesia? Bohong! Eh, tapi cowok itu, Stink namanya, benar-benar perhatian padaku, dan…ahhh, serius dia nembak aku. Aku tak mungkin menolaknya. Aku langsung menerimanya. Meskipun dia cowok aneh, plinplan, dan nggak jelas begitu. Sayang, dua temanku, Marcella dan Wening tak pernah bisa klop sama Stink. Teman seharusnya mendukung teman yang lain, kan? Aku yakin mereka pasti bisa menerima Stink suatu saat nanti. Entah kapan. Yang pasti harus secepatnya, karena sekarang aku selalu degdegan tiap berdekatan sama Ronal. Nah, lho? Gimana donk? Stink apa Ronal? Ronal apa Stink? Duh, jatuh cinta itu rumit, ya? Apalagi cinta pertama!

Walahhh, saya malah tak tahu kalau Ken sudah menerbitkan buku ketiga dari seri My Friends My Dreams-nya ini. Sudah pasti saya blingsatan begitu melihat novel ini ada di tumpukan new release salah satu toko buku langganan window shopping saya. Tak langsung saya beli, mengingat masih banyak tumpukan utang buku yang belum dibaca. Namun, ketika harus window shopping lagi ke toko buku, saya tak bisa menahan godaan itu. Dan, tercomotlah buku ini. Catatan buat diri sendiri: kurangi window shopping, bayar dulu utang baca buku yang sudah numpuk di lemari itu. #bahhh

Bagi saya, kisah persahabatan tiga dara SMA, Marcella-Joy-Wening selalu memikat sejak saya membaca seri pertamanya yang jadi juara tiga Lomba Penulisan Novel Teenlit beberapa tahun silam. Sejak saat itu, saya jadi fans Ken Terate. Semua bukunya, insyaAlloh, sudah saya lahap. Dan, pada setiap bukunya saya selalu tersepona. Haduhhh. Nagih banget tulisannya. #gawatttt

Oke, kali ini pun, kisahnya tetap kocak, as usual. Kalimat hiperbola, ungkapan-ungkapan pintar nan menggelitik, dan dialog yang mengalir lancar adalah segudang kepiawaian dari penulis ini. Pemilihan Joy sebagai pusat perhatian juga sangat tepat, karena sudah pasti ia memiliki sekardus cerita yang bisa dicurhatkan. Typically ABG masa kini yang ribet soal penampilan, persahabatan, dan kegalauan soal cowok. Konfliknya oke. Latar belakangnya juga oke. Bumbu penyedapnya pun tak ketinggalan, oke juga. Tak banyak penulis yang mempu menonjolkan tokoh utama dengan menjaga karakter lain tetap dapat mencuri adegan. Jelas, Marcella, Wening, Stink, dan Ronal, mampu mencitrakan dirinya masing-maisng. Tidak tenggelam oleh akting Joy yang sempurna.

Nah, apa donk yang kurang dari novel ini? Hmm, apa yaaaaa…? Kurang tebal, pastinya, hahahaha. I WANT MORE! Hehehehe. Kalau menilik bab-bab akhir sih, agak kelihatan masih bakalan ada next story, Wening, maybe, with Lantip? Hahahaha. I hope so.

Untuk typo, ada beberapa kata yang musti disesuaikan. Dan ada satu kalimat yang ketinggalan satu kata, “….masa sih kita harus melakukan hal yang sama dari ke hari?” (hlm. 121), sepertinya perlu ditambahkan kata “hari” sehingga menjadi “dari hari ke hari?”, iya, nggak, sih? Selebihnya… mulus. Good job, Ken.
----di sini kelanjutannya----

Minggu, 03 Juli 2011

Sedang Kubaca: Sebelas Patriot by Andrea Hirata

Sebelas Patriot = Laskar Pelangi = same pattern?



Di samping Madre by Dewi "Dee" Lestari, aku saat ini juga sedang membaca buku racikan terbaru karya penulis serial anak Belitong nan fenomenal, Andrea Hirata, bertajuk Sebelas Patriot, yang dari berita santernya berlatar belakang dunia sepak bola tanah air.

Sebagaimana sering kubilang, serial Laskar Pelangi sendiri tidak (belum) pernah tuntas kubaca. Aku hanya pernah membaca tak lebih dari separuh bagian buku pertamanya saja. Namun, aku berhasil melahap dwilogi Padang Bulan - Cinta dalam Gelas, di mana aku sangat suka pada Cinta dalam Gelas, sebuah kisah haru-biru dari Maryamah dalam balutan dunia per-kopi-an yang begitu hangat.

Untuk Sebelas Patriot ini aku baru membaca sepertiganya dan...ehmmm...belum nemu gregetnya nih. Dan, hey, katanya ini fiksi, tapi tokoh-tokohnya belum juga bisa lepas dari tokoh-tokoh Laskar Pelangi? Kenapa aku jadi mikir kalau bang Andrea nih serasa nggak punya power bikin buku kalo nggak dikait-kaitin ama serialnya ya? Seolah beliau nggak pede nulis buku yang benar-benar baru. Halah, ini mah syak wasangkaku belaka.

Oke, bagi yang udah punya, selamat membaca, kawan!
----di sini kelanjutannya----

Sabtu, 02 Juli 2011

Sedang Kubaca: Madre by Dewi "Dee" Lestari

Madre by Dewi "Dee" Lestari



Aku langsung terpukau ketika kali pertama membaca karya tulis masterpiece Dee bertajuk Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh beberapa tahun silam. Olahannya yang mengombinasikan drama romansa biasa dengan disiplin ilmu eksakta yang super-berat justru memberikan kenikmatan membaca yang tiada tara. Tiada bandingan. Selalu dan selamanya, novel itu akan menjadi favoritku.


Namun, berikutnya aku tak lagi secara intens membaca karya-karaynya. Entahlah. Mengetahui kekecewaan beberapa teman yang membaca sequel Supernova menyurutkan hasratku untuk membaca karya-karya Dee berikutnya. Tapi, dasar aku yang sudah nge-fans sama Dee sejak dia gabung di trio Rida-Sita-Dewi di dunia tarik suara, aku tak pernah lupa untuk selalu melirik karya-karyanya. Termasuk, teenlit ringan berjudul Perahu Kertas yang cukup menyegarkan, buatku.

Nah, sekarang aku lagi mencoba membaca karya terbaru Dee yang masih setia diterbitkan oleh Bentang Pustaka yaitu sebuah kumpulan cerita pendek yang ditulisnya secara simultan sejak 2006 hingga 2011. Awalnya meragu juga, soalnya aku memang bukan penggemar kumcer. Sudah lama aku tak lagi dapat menikmati membaca kumpulan cerita-cerita pendek. Mungkin telah terbiasa membaca novel yang memelihara tokohnya tidak hanya dalam beberapa lembar saja. Anyway, aku tetap mencoba membaca buah karya terbaru Dee ini. Baru mulai dibaca sih, tapi cerpen Madre benar-benar menggairahkan. Mengalir dengan lancar. Dan membuat penasaran.

Sudah ahhh, aku mau meneruskan baca dulu. Ini Madre-nya aja belum kelar, masih ada 12 cerpen/prosa lainnya.

Selamat membaca kawan. Oiya, mupung sedang ada Pesta Buku Jakarta 2011 di Istora Senayan Jakarta, ayo yang mau beli buku ini, ada special discount di stand-nya Mizan.
----di sini kelanjutannya----