Selasa, 13 Desember 2011

Resensi Novel Fantasi Terjemahan: Once a Witch by Carolyn MacCullough

Read from November 27 to December 06, 2011, read count: 1
3,5 star...





Kerumitan dunia sihir

Bagian awal novel ini tidak memberikan sensasi kejut yang hampir membuat saya berhenti karena bosan. Apalagi dari segi kalimat per kalimatnya terasa sulit dicerna otak saya yang pas-pasan ini. Entahlah, apakah dari novel aslinya memang sulit ataukah tersebab gaya penerjemahannya. Saya tak tahu. Yang jelas, memang ada sedikit ganjalan ketika menyimak rangkaian kalimatnya. Banyak sekali adegan yang dibuat dengan kata berulang:

...meliuk-liukkan jari-jari tangannya dalam gerakan-gerakan rahasia, berkomat-kamit dalam bahasa yang hanya diketahui olehnya saja.

Liuk-liuk, jari-jari, gerakan-gerakan, komat-kamit...hmm, begitu banyak kata berulang dalam satu baris kalimat saja. Dan, hal tersebut terjadi hampir di banyak bagian novel ini. Saya jadi kepengin mengecek naskah aslinya, apakah adegan tersebut memang berulang. Just curious.

Untunglah, saya tidak jatuh dalam kebosanan yang berkelanjutan. Begitu sampai pada adegan Tamsin, Rowena, dan Alistair dipertemukan dalam satu scene, suasana mencekam dunia sihir kuno mulai menyedot perhatian saya. Dimulai dari situlah, Once a Witch menyihir saya hingga ke lembar halaman terakhirnya. Beruntung, saya memutuskan untuk membeli novel Young Adult yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Ufuk yang harganya dipotong 40% ini di Indonesia Book Fair 2011 beberapa waktu lalu.

Pada saat ini, menemukan cerita Young Adult bertema paranormal atau supranatural dengan taburan tokoh-tokoh dunia dongeng: vampir, werewolf, peri, shifter, menjadi sangat mudah. Namun, menemukan novel paranormal atau supranatural dengan racikan baru lah yang susah. Bagi saya, Carolyn berhasil menemukan ramuan baru dengan membangun sebuah dunia sihir kuno yang suram, mencekam, dan sulit ditebak bagaimana ujungnya. Meskipun tidak terlihat adanya makhluk-makhluk aneh dunia ghaib, namun beberapa unsur fantasy mampu menjaga intensitas ceritanya.

Kisah tentang penyihir ber-Talenta, perjalanan melintas waktu, perjanjian berdarah, pertarungan hidup-mati antara penyihir putih dan penyihir hitam, adalah unsur-unsur fantasy yang cukup untuk membawa imajinasi saya bergentayangan menembus batas-batas logika dan rasionalitas. Meskipun, premisnya tetaplah sama, penyihir putih dijamin menang, namun Carolyn mampu menjaga konfliknya agar ending tidak berakhir dengan mudah. Ia menyelipkan twist di sana-sini yang bikin saya gemes. Dan, saya yang sudah menyadari bahwa buku ini memiliki sekuel tidak lagi merasa canggung begitu ending dibuat menggantung.

Namun, meskipun berhasil membuat ramuan baru, toh sebenarnya hal tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Tapi, saya tak akan menghakiminya. Pada kondisi saat ini, saya cenderung mengabaikan kebaruan cerita. Apabila ketika membaca merasa menemukan sesuatu yang baru ya... “alhamdulillah ya, sesuatu banget..” tapi kalau tidak ada yang baru ya nggak papa, lha penulis dan buku yang terbit saat ini sudah jutaan, wajar saja jika ada satu-dua adegan atau bahkan benang merah yang hampir sama satu dengan yang lain. Asal tidak secara terang-terangan menjiplak saja. Di novel ini, saya kebayang serial Heroes, serial X-Men, Harry Potter, bahkan Vampire Academy. Ya sudahlah, dinikmati saja.

Tokoh Tamsin dengan mudah menarik perhatian. Dia yang diprediksikan oleh sang nenek akan menjadi yang paling kuat di antara keluarganya justru tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia memiliki Talenta luar biasa. Di sini, bayangan saya meluncur pada sosok Harry Potter yang baru menyadari bahwa dirinya adalah seorang penyihir ketika disambangi Hagrid dan diundang bersekolah ke Hogwarts. Tamsin, meski dengan jalan yang berbeda, hampir memiliki garis nasib yang sama dengan Harry Potter, bahwa pada akhirnya dia tahu dia juga ber-Talenta. Bahkan, sesuai dengan ramalan, ia memiliki Talenta yang luar biasa yang diincar oleh sang penyihir hitam.

Karakter Gabriel sangat cocok disandingkan dengan Tamsin. Gelenyar asmara di antara mereka berhasil membumbui alur maju mundur yang disusun oleh Carolyn sehingga tak jarang menerbitkan sesimpul senyum di bibir dan keinginan untuk bilang, “ohhh...co cwittt...” dengan gaya Fitrop.

Pada akhirnya, ending menggantung memang bikin nanggung. Saya terpaksa harus menunggu buku keduanya untuk mengetahui kelanjutan kisah ini. Apakah akan semakin suram ataukah akan ada banyak sisi cerah yang dihadirkan oleh Carolyn. Dan, by the way, ini akan jadi berapa seri? Trilogi? Tetralogi? Apa banyak-logi? Semoga cukup beberapa seri saja.

Kelemahan mendasar dari novel ini, bagi saya, adalah kerumitan kalimat-kalimatnya. Termasuk gaya pengulangannya sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya. Nanti saya coba bandingkan dengan edisi bahasa Inggrisnya deh.

Konflik utama baru menyentuh beberapa karakter saja, padahal konflik tersebut berpotensi menjadi sangat besar, sebesar ancaman Voldemort bagi dunia sihir Harry Potter. Di novel ini, ancaman itu masih terbatas pada keluarga Tamsin dan beberapa karakter selingan di lingkungan mereka. Saya berharap konflik berkembang secara signifikan di buku berikutnya.

Saya sudah menyiapkan diri untuk menemukan typo ketika membaca novel ini, berdasar pengalaman membaca novel produksi penerbit ini, tapi saya tetap saja terkejut dengan jumlah temuan saya, satu strip post-it penanda typo saya habiskan untuk novel ini. Berikut adalah beberapa temuan typo tersebut:

(hlm 9, 90, 220) tanda baca titik (.) tidak ada
(hlm 16) ras = rasa
(hlm 30) menggeluyur = mengeluyur (berkeliaran = kata dasar keluyur?)
(hlm 40) terselip tanda baca (?) yang tidak perlu
(hlm 42) ...cokelat. “kesukaanmu,” kata Silda.... huruf k pada kata kesukaanmu harusnya kapital
(hlm 64) Mendadak, ibuku mendadak muncul.... redundansi kata “mendadak”
(hlm 68) seksama = saksama
(hlm 90) pertam = pertama
(hlm 121, 127) konsistensi penulisan frekuensi ke dua dan kedua (belum tahu juga sih, beda penggunaan di antara keduanya)
(hlm 126) Bagaimana kalau kita benar-benar, benar-benar hati-hati? ...redundansi kata benar-benar.
(hlm 132) Tidak, dialah mendekat dan mengajakku menarikan dansa itu. ....lebih enak terdengar jika diselipkan kata “yang” di antara kata “dialah” dan “mendekat”.
(hlm 141) bebisik = berbisik
(hlm 157) gosokkan = gosokan
(hlm 158) ...hampir terlompat keluar dari kulitku saat sesuatu berbisik di lenganku... #eh? Berbisik itu bukannya kategori indera pendengaran ya? Berbisik di kulit? Maksudnya apa?
(hlm 169) ...keberatan untuk untuk naik kereta, tapi ibuku... redundansi kata “untuk”.
(hlm 195) dipenuh = dipenuhi
(hlm 239) ...yang marah muncul ke di lengannya. ....redundansi kata “ke”.
(hlm 242) “Toh aku tidak sedang sedang menggunakan... redundansi kata sedang.
(hlm 260) mantra itu jangkauan tidak terlalu jauh. ...sebaiknya ditambahkan “nya” pada kata “jangkauan”.
(hlm 264) menengggelamkan = menenggelamkan
(hlm 280) merubah = mengubah
(hlm 292) menganggantungkannya = menggantungkannya
(hlm 302) Tam, aku ada bar di Lion’s Head. ...melihat konteks kalimat yang tidak merujuk pada kepemilikan bar tersebut, maka sebaiknya diberikan tambahan kata “di” di depan kata “bar”.
(hlm 303) Agatha terkikik-kikik sedikit, Agatha-nya kikikan khas Agatha dengan dua nada tinggi.... kalimat ini rancu, saya tak paham maksudnya. Mungkin lebih baik kata “Agatha-nya” dihilangkan saja.
(hlm 309) Gabriel memberikan menanggapi dengan suara datar... lagi-lagi kalimat rancu, lebih baik dihilangkan kata “memberikan” atau mengubah kata menanggapi menjadi “tanggapan” atau “respons”.
(hlm 319) ...dan aku melempar pisau ke itu ke pojok ruangan.... redundansi kata “ke”, sebaiknya “ke” yang pertama dihilangkan.
(hlm 322) ...membuka mulutku. tak ada kata. Aku tidak... huruf t pada kata “tak” seharusnya kapital.
(hlm 337) tengah-tenah = tengah-tengah
(hlm 359) cengeramannya = cengkeramannya

Sebenarnya masih ada beberapa lagi typo setelah halaman 359 itu, namun dikarenakan persediaan post-it saya habis, saya tak lagi kuasa menandainya sehingga terlupa di mana saja typo tersebut. Cukup mengganggu, bagi saya. Karena lumayan banyak typo-nya. Dan, sudah pasti lewat dari batas toleransi typo yang saya tetapkan (5 kesalahan). Semoga saja, pada cetakan selanjutnya (jika akan dicetak ulang) atau novel lain terbitan Ufuk dapat ditingkatkan kualitas cetakannya.

Yang saya salut sih, Ufuk ini sangat memanjakan pembaca dengan memberikan keadilan bagi pembaca Indonesia untuk mendapatkan cover sesuai buku aslinya (versi lain). Hampir beberapa buku terjemahan diterbitkan dengan cover aslinya. Dan, saya kebetulan memang menyukai cover-cover novel Young Adult versi aslinya.

Baiklah, ini hanyalah sekadar review subjektif saya. Bagi Anda penyuka Young Adult, tak ada ruginya mengoleksi buku ini. Selamat membaca, kawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar