Minggu, 11 April 2010

(2010 - 2) Resensi Non Fiksi: Regina Kencana - Kepleset!

e-e…jaran-goyang wedhus-gembel…maaf, kepleset!



Judul: Kepleset! Gerundelan Tentang Gaya Hidup
Penulis: Regina Kencana
Editor: Chusnanto
Epilog: Muara Bagdja
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tema: Buku dari blog, plesetan, peniruan
Tebal: 106 hlm
Harga: Rp35.000 (disc 36%)
Rilis: Maret 2009 (cet. 1)

Kayaknya selama yang baca resensi ini hidup dan tinggal di Indonesia, “kasus-kasus komedi” yang dirangkum dalam buku ini pasti kalian semua pernah mengetahui/mengalaminya. Yupsi, buku ini membeberkan beberapa contoh penyelewengan hak kekayaan intelektual secara terselubung. Alih-alih mengkopi/menggandakan langsung dari aslinya, mereka cukup pintar dengan memelesetkan nama sehingga tersamar dari tindak pembajakan.

Aku sebagai salah satu dari jutaan WNI sadar sepenuhnya bahwa itu memang terjadi, dan aku juga masuk dalam lingkaran subjek-pengguna produk-produk plesetan tersebut. *tutupin muka pake buku – malu* Barang plesetan yang kuingat pernah kubeli adalah walkman merek Sunny (Sony?), frame kacamata merek Mercedes Benz (emank Mercy jualan frame juga ya? *masih kupakai*) dan kemeja Boss (tanpa Hugo).

Buku yang sejatinya berangkat dari blog serasasekali ini mengajak pembacanya untuk menertawai sekeliling atau bahkan diri sendiri yang dengan bangganya memamerkan produk-produk kesehariannya yang senyatanya adalah produk tak orisinil. Nyontek dari benda sejenis di sebelahnya. Bahan dan harga berbeda, tapi tampilan menyerupai.

Komposisi buku ini lebih didominasi dengan gambar hasil jepretan penulis (atau kontributor blognya) dengan tambahan celetukan-celetukan gayus (gaya jayus) yang sebagian lucu sebagian lagi garing. Entry lainnya adalah sejumlah email fiktif yang serupa Q&A seputar masalah produk dan merek, trivia question yang kocak, tips-tips sederhana soal fashion, serta chart (10 anak tangga) tingkat ke-berbahaya-an barang palsu yang mencengangkan, hehehe…lebayyy

Hmm…3 bintang untuk buku ini. Satu untuk judul dan smpul yang inovatif, satu untuk kegigihan dan kejelian penulis memerhatikan penyelewengan yang ada sekelilingnya (dan mengabadikannya), dan satu lagi untuk menjadikan buku ini sebagai proyek sindiran bagi para penikmat barang plesetan (aku, maksudnya).

Cuplikan halaman 89:

Beckham dan Guess (dalam Variasi)

Suatu siang di ITC Kuningan. Dua buah merek selop sangat mengganggu mata saya. Tapi sayang, sepertinya si empunya toko takut kalau saya ini adalah seorang detektif swasta. Dikira mau sweeping kali, ya? Jadi dia terus ngintili ke mana saya pergi.

Lebih ringkasnya saya ceritakan saja apa yang saya lihat di sana. Merek selopnya itu Victoria Beckhaini (Victoria Beckham) dan Guess by Maryano (Guess by Marciano).

Satu trivia question (hlm. 35):

Manakah yang bukan merek palsu dari kacamata Ray Ban?

a). Ray Baby, b). RB Space, atau c). Ray Bee

ayo, monggo dijawab….*mesem*

Beberapa snapshot yang ada di blog si penulis:


Ini maksudnya tuh, dibutuhkan waitress tapi salah tulis jadi weather (cuaca).


Nah yang ini, niatnya mau ngasih tahu bahwa sedang ada perbaikan, under construction, eh...malah tertulis under contraction...

----di sini kelanjutannya----

Minggu, 28 Maret 2010

(2010 - 1) Resensi Novel Fiksi Dewasa: Sanie B. Kuncoro - Garis Perempuan

Pilihan Empat Perempuan Perawan



Judul: Garis Perempuan
Pengarang: Sanie B. Kuncoro
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain sampul: Kebun Angan
Pemeriksa aksara: Pritameani
Pemerhati aksara: Ari Y.A.
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Distributor: Mizan Media Utama
Tema: Perjuangan, Perempuan, Perawan, Pilihan
Tebal: x + 378 hlm
Harga: Rp54.500 (diskon GRI: Rp42.000)
Rilis: Januari 2010

Aku membayangkan Dian Sastro sebagai Tawangsri, Rachel Maryam sebagai Gendhing, Happy Salma sebagai Ranting, dan Dominique sebagai Zhang Mey, jika novel ini bertransformasi menjadi film. Hmm, kira-kira ada tidak ya yang berniat membingkai karya tulis ini menjadi sebuah karya visual dalam layar perak. Semoga saja.

Oiya, aku membaca novel ini karena “teracuni” teman-teman baruku di GRI (Goodreads Indonesia), dan untung saja aku mendapatkan copy novelnya dengan potongan harga berkat mereka. Sedap. Terima kasih teman-teman.


Baiklah, mari kita bahas novel yang kata penulisnya adalah novel pertamanya ini (loh, terus Ma Yan novel ke berapa? Bukannya lebih dulu terbit, dan itu di cover depan novel ini tertulis “Penulis Bestseller Ma Yan”, maksudnya apa?)

Perempuan menjadi topik tak berujung untuk selalu diulas. Beragam liku-liku peran akan disematkan pada makhluk indah ciptaan Tuhan ini. Mulai dari yang “sekadar” peran sampingan hingga peran dramatis pengundang kontroversi. Dan, novel ini memilih mengangkat perempuan pada banyak peran. Meski kesemuanya bermuara pada dramatisasi kontroversi.

Alkisah, mengalirlah denting dawai kehidupan empat perempuan dengan nama-nama yang sudah kusebutkan di muka. Ada sosok Ranting yang harus rela memasrahkan mustika keperempuanannya sebagai istri ketiga pada sosok tuan besar yang ‘berjasa’ mengentaskannya dan keluarganya dari tubir jurang kemiskinan meskipun pada akhirnya Ranting lebih memilih melacurkan diri pada lelaki itu. Tersebut juga kisah Gendhing yang terbelit pilihan sulit antara menghadiahkan selaput daranya pada laki-laki yang sanggup ‘membelinya’ ratusan juta untuk melunasi utang keluarganya ataukah mempertahankannya namun dengan risiko dia menjadi ‘babu’ yang senasib dengan kedua orang tuanya. Selanjutnya, ada Tawangsri yang merasa menemukan memori hangat dekapan seorang ayah pada sosok duda beranak satu yang ditemuinya secara tidak sengaja, tetapi dia teradang keraguan batin ketika hendak menyerahkan harta paling berharganya demi menyadari bahwa ada masa lalu yang sulit dikompromikan pada laki-laki itu. Terakhir ada Zhang Mey yang terbelenggu tradisi etnisnya untuk harus mampu mempersembahkan percikan darah perawan di atas saputangan pada lelaki yang ditunjuk sebagai suaminya meskipun gelenyar cintanya justru terpaut pada sosok iniren yang tak memenuhi persyaratan keluarganya untuk dipertimbangkan sebagai menantu.

Empat perempuan diikat dalam empat lakon yang dialirkan dengan serangkaian kalimat yang mendayu-syahdu oleh Sanie. Tak bisa kusangkal bahwa kemampuan olah kalimatnya begitu memesona. Membanjiri kesadaranku akan keindahan kata-kata. Ini adalah guyuran kenikmatanku, karena aku ingin mendeklarasikan diri sebagai pelumat keindahan kata-kata. Namun demikian, puntiran-puntiran kalimat Sanie kadang juga agak menjemukan karena kegemarannya untuk over used pada kata-kata tertentu. Aku mencatat ada kata “bergeming”, “terperenyak”, “suwung”, dan “lalu”, yang kadang digunakan terlampau sering. Yang agak mengganggu nikmatnya kunyahanku pada novel ini adalah kata “lalu”. Seolah-olah Sanie kehabisan ide untuk mencari padanan kata lain demi menyambung paragraf-paragraf yang diciptakannya. Ini seperti ketika ada yang bercerita, “…habis bangun lalu aku mandi, habis mandi lalu aku makan, habis makan lalu aku sikat gigi, habis sikat gigi lalu aku nonton tipi.” Tidak salah, dan juga hak penulis untuk menggunakannya, tapi bagiku penggunaan kata itu sungguh agak mengganggu. Satu tanya tersembul adalah, apakah tidak ada kata lain sebagai pengganti kata lalu, sehingga tidak terkesan over used begitu? Meskipun demikian, penggunaan kata-kata over used itu tak lantas membuatku mendadak mual.

Kejemuan pada segala keindahan susunan kalimat dalam novel ini juga timbul dari kesan serba tahu dari si penulisnya. Pada beberapa bagian, aku terpaksa skip dan berpindah cepat ke halaman berikutnya. Ini yang aku kategorikan sebagai kalimat menye-menye. Terlalu bertele-tele meskipun masih tetap dapat dikoneksikan dengan situasi dan kondisi yang dialami para pelakonnya. Namun, tetap saja bentukan kalimat tersebut mengingatkanku pada novel Laskar Pelangi yang juga kubaca loncat-loncat sangking banyaknya kalimat hiasan sebagai pengantar pada inti paragraf utamanya. (Yang akhirnya nggak selesai dibaca juga).

Hmm, kesan serba tahu ini mnejadi kontradiksi ketika di awal mendongeng, Sanie hanya menyebut “tanaman parasit yang berupa sulur-sulur kuning menjalar pada ranting-ranting dan dedaunan” (hlm: 4), “sulur-sulur kuning yang ruwet bergumpal memanjang”. Apa iya, tidak ada ahli Biologi yang telah menemukan nama untuk tumbuhan parasit yang mengibakan sekali karena tidak terkenal itu? Ataukah sebagaimana kata oom Google yang ketika aku ketikkan kata, “tumbuhan parasit sulur kuning,” membawaku bertamasya ke beberapa situs yang mengidentifikasi sulur-sulur itu sebagai tumbuhan dengan nama “tali putri”? Well, bukan sesuatu yang maha-penting sih, tapi agak mengganggu bagiku jika di lembar-lembar berikutnya si penulis dengan fasihnya menebarkan beragam informasi dari pengetahuan teknologi kereta api Shinkanzen hingga migrasi kupu-kupu raja, namun hanya menyematkan istilah “sulur kuning” pada tumbuhan yang jamak dijumpai itu.

Kritik lain yang aku berikan adalah suasana permainan “pasaran” yang ada di pembukaan novel. Kalau boleh jujur, permainan masa kecilku adalah bercampur-baur dengan teman-teman laki-laki dan perempuan. Kadang bermain drama, kadang bermain gedrik gunung, bahkan juga pasaran, jadi paling tidak aku juga pernah merasakan bagaimana jalannya permainan itu. Dan, seingatku dialog-dialog percakapan kami tidak sekaku itu. Aku merasa kurangnya unsur riang dalam setiap luncuran percakapan para tokoh-tokoh ciliknya itu.

Ketidak’sreg’anku yang lain adalah kenapa ketika cerita Tawangsri, modelnya dibuat berbeda. Jikalau pada kisah ketiga yang lain, si tokoh laki-lakinya tak bisa diketahui pasti keseharian dan pemikirannya, kenapa yang di waktu cerita pasangannya Tawangsri, si tokoh laki-laki itu diberikan hak untuk menguraikan pikirannya?

Walah, aku selalu begini. Memberikan kritik pada bagian-bagian yang nggak penting, meskipun bagiku pribadi sih itu perlu untuk menyempurnakan kenyamananku mengikuti aliran plot yang dibangun si penulis cerita. Cerita sebagus apapun jika dalam membawakannya (termasuk kemasan dan cetakannya) tidak membuatku sreg ya…tidak akan berhasil membuatku puas.

Overall, aku suka dengan novel ini. Dan kalau harus menetapkan tokoh favorit di novel maka aku memilih Cik Ming sebagai tokoh perempuan favorit dan ayah Zhang Mey sebagai tokoh laki-laki favorit.

Hmm, ada beberapa pemikiran yang akan segera kucatat untuk dapat kubawa pada diskusi bookclub GRI berikutnya jika rencana temanya jadi mengangkat buku ini untuk didiskusikan.

Rating: 3,5 dari 5 bintang.

PS: kenapa sih namanya Tawangsri? Awalnya aku selalu membacanya Tawangsari lohh…
----di sini kelanjutannya----

Sabtu, 27 Maret 2010

Borong Buku di Pesta Ultah ke-36 Gramedia

Bangkrut-bangkrut deh aku bulan ini


pic source: kompas.com (bisnis dan keuangan)

Cek saldo rekening sebelum berangkat ke show room Gramedia di Palmerah tadi bikin aku kaget, ya ampunn, udah cuman tinggal segitu, alamat aku harus berhemat seminggu ke depan. Aku juga harus ngetatin ikat pinggang soale minggu depan ada temen ngajak plesiran ke Bandung. Wahhhhh, bisa jatuh miskin kalau tidak segera diatur keuangannya nih *nepok jidat*

Betewe, niat ama perbuatan kadang emank nggak sejalan, ya? Maunya sih irit, berhemat-hemat gitu, eh malah aku kalap ngeborong buku di show room-nya Gramedia itu. Yah, begitulah, kalo mata ini sudah melihat gundukan buku di kotak obralan (dengan iming-iming diskon gila-gilaan) ya nggak terasa duit di dompet pindah tangan ke mbak kasirnya, duh!

Ini dia daftar buku-buku yang kucomot di sana:

Buku yang diskonnya 36% (di area show room):

1. Mencari Ratu Istana Cinta - Tria Barmawi: Rp25.000 (disc. 36%) - Rp16.000
2. Seri Tongkat Ajaib Lolita eps My Dearest Frog Prince - Karla M. Nashar: 25.000 - 16.000
3. 7 Hari Menembus Waktu - Charon: 25.000 - 16.000
4. Magnet Curhat - Primadonna Angela: 40.000 - 25.600
5. Neer be the Same - Monica Petra: 30.000 - 19.200
6. Ratu preman - Primadonna Angela & Alexandra Xu: 30.000 - 19.200
7. Selimut Debu - Agustinus Wibowo: 69.000 - 44.100
8. The Palace of Illusions - Chitra Banerjee Divakaruni: 52.000 - 33.280
9. Kepleset! - Regina Kencana: 35.000 - 22.400
10. Detektif Ekonomi - Tom Harford: 60.000 - 38.400

Ini buku yang didapet dari rak obralan (di area belakang show room):

1. Budi Darma Karya dan Dunianya - Wahyudi Siswanto: 10.000
2. Sapardi Djoko Damono karya dan Dunianya - Bakdi Soemanto: 10.000
3. I Don't Know How She Does it - Allison Pearson: 15.000
4. Confession of Teenage Drama Queen - Dyan Sheldon: 10.000
5. In Her Shoes - Jennifer Weiner: 15.000
6. Me Times Three - Alex Witchel: 15.000
7. Puppy Fat - Morris Gleitzman: 5.000
8. the Cassandra Compact - Robert Ludlum/Philip Shelby: 10.000
9. So Complicated - Sanny: 10.000
10. The Conch Bearer - Chitra Banerjee Divakaruni: 10.000
11. Mr. Perfect - Linda Howard: 15.000
12. Utukki Sayap Para Dewa - Clara Ng: 15.000
13. Disneys's Fairies Lily: 10.000
14. Disney's Fairies Vidia: 10.000
15. Word 2007 untuk Sekretaris - Sarah & Hanna: 10.000

Dan, satu buku Marry Higgins Clark titipan temen seharga 5.000

So, total cash out flow ku (hanya siang tadi) adalah: 425.240

Lha dalahhh...gimana aku bisa hemat kalo begini, duh! Padahal juga besok masih mau (rencananya) ke Depok Town Square, ikutan diskusi buku Feel-nya Wulan Guritno dan suaminya. Tentu saja, kalo sudah jauh-jauh ke sana (TM Bookstore) aku juga harus nyomot satu-dua buku yang di-diskon di sana. Ya ampun!!! *diputuskan untuk di-cancel, karena aku lagi males banget dan ada kerjaan yang musti diselesaikan.
----di sini kelanjutannya----

Blog Baru (lagi????)

nge-blog terus pokoknya...



Ya ampun, aku bikin blog baru lagi? Buat apa? Kan udah punya blog pribadi sama blog resensi, nah yang ini blog buat apaan?

Aku sengaja membikin satu blog lagi, yang khusus untuk menampung semua buku-buku-ku, dari beragam genre dan tema. Aku tidak mau menumpuk bukuku di blog pribadi karena rencananya blog pribadi itu ya isinya tentang aku dan keseharian pribadiku (buku hanyalah salah satu bagian kecilnya saja). Sedangkan untuk blog resensiku itu, maunya akan kukembalikan fitrahnya menjadi blog resensi sesuai namanya, yaitu blog resensi khusus novel-novel metropop (terinspirasi dari konsistensi temen-temen di blog fikfanindo ini).

Memang awalnya saya hanya suka membaca novel metropop, diseling chicklit atau teenlit atau novel romance lainnya, namun semenjak gabung di goodreads (dan nyemplung pula di goodreads Indonesia) aku menjadi sadar bahwa range bacaanku terlalu sempit. Aku ingin mengembangkan genre bacaan. Tidak hanya berkutat di kotak novel fiksi romantis saja, tapi juga buku-buku lain (termasuk yang non fiksi).

Nah, maka dari itu, aku kepikiran membuat satu blog lagi untuk menampung semua koleksi buku-bukuku, termasuk novel romance itu. Blog ini juga ingin kumanfaatkan untuk meng-katalogisasi buku yang aku miliki. Siapa tahu dengan begini, aku mulai bisa membiasakan diri mengatur hidupku. Aminn...

Oiya, lupa, untuk template blog ini, biasa aku nyomot dari sini
----di sini kelanjutannya----