Minggu, 28 Agustus 2011

Resensi Novel Teen Lit: Wiwien Wintarto - The Unfunniest Comedy

Mencari keseriusan dalam lawakan cinta

Rate: 3,5 out 5 star




Judul: The Unfunniest Comedy
Pengarang: Wiwien Wintarto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Genre: Teen lit
Tebal: 272 hlm
Harga: Rp38.000 (disc 25% Toga Mas Surabaya)
Rilis: Agustus 2011 (Cet. 1)
ISBN: 978-979-22-7008-2

Summary:
Nyemplung sebagai pelatih tim lawak Ora Obah (nggak gerak) yang kebanyakan anggotanya adalah murid-muridnya di teater Obah, membuat Bimo mengalami petualangan tidak biasa yang membuatnya menemukan obat penawar kesendirian yang selama ini diabaikannya. Tapi, tentu saja, petualangan tidak menarik jika terjadi datar dan mulus saja. Serangkaian peristiwa yang melibatkan para personel Ora Obah: Vian, Ruben, Odi, Ardi, dan beberapa nama lain menghadirkan liku-liku kehidupan yang sudah pasti tak akan dilupakan oleh seorang seniman seperti Bimo.

I am a loyal reader, you know.
Sekali aku menyukai karangan seorang pengarang, percayalah, aku bakal menyukai karangan-karangannya yang lain. Termasuk karangan si mas yang satu ini, Wiwien Wintarto, yang sudah “menjebak”ku dalam kenikmatan membaca. Natural dan beda. Satu dari sedikit novel (teen lit atau metropop) yang tidak bersetting di Jakarta. Bahkan, hampir keseluruhan novel karya WW (yang sudah kubaca) bersetting di Semarang dan sekitarnya. Nice choice! Biar nggak Jakartasentris.

Tentang teen lit terbarunya ini, hmm, dengan banyaknya karakter yang diciptakannya plot tersusun kompleks namun berhasil diberikan pilihan pemecahan permasalahan masing-masing. Easy one? Mungkin, iya, tapi mau bagaimana lagi? Dibuat rumit juga malah nggak selesai-selesai masalahnya, kan? Yang pasti, menurutku, solusi yang ada sangat unpredictable yet logic.

Oke, benang merah ceritanya adalah tentang grup lawak yang mencoba eksis di dunia showbiz namun untuk beberapa part tidak begitu mengundangku untuk ikut tertawa, apa karena judulnya unfunniest comedy? Komedi paling nggak lucu? Hahaha, salahkan judulnya. But, ada juga sih celetukan ringan nan kocak yang mau nggak mau bikin aku ngakak. Not bad. Lucu, segar, menghibur.

Gaya menulis, check. Plot, check. Karakter, check. Diksi, check. Konflik, check. Ending, check. What else? Ehmm, secara tersirat atau pun tersurat ada banyak ide, entah aslinya memang ingin ditonjolkan atau tidak, yang disampikan oleh pengarang tentang apa saja. Tips persahabatan dan percintaan. Taaruf versus pacaran. Keterbukaan. Dan, berjuanglah dengan logika. Cinta itu membutakan, tapi tetap pakailah logika. Emosi hanya akan membakar dan menghanguskan semua yang ada. Maka, jika tidak ada yang tersisa, bagaimana bisa berjuang untuk cinta?

Widihhh, another John Mayer in the novel. OH-MY-GOD! He’s everywhere. Gosh! Me: fine, tapi ya... agak curious aja.

Oya, frankly, I hate the cover. Nggak banget, menurutku. It could be better. It suppossed to have a better reppresentative cover. Tapi, yahh...yang lebih tahu soal beginian kan yang nerbitin, ya. Ini mah subjektivitasku sebagai pembaca aja.

Beberapa hal teknis yang perlu mendapat concern:
1. Aba-aba baris berbaris itu “tegap, grak!” apa “tegak, grak!”?
2. Di hlm. 103, Bimo bilang akan bertemu Ibu Renata yang adalah asisten GM Novotel, tapi kenapa di hlm. 122 Bimo serasa baru ngeh kalau ibu Renata itu ‘ternyata’ asisten GM Novotel?
3. Inkonsistensi penggunaan kata ‘improv’ (hlm. 221) dan ‘improf’ (hlm. 214, 246)
Kenapa gue jadi berasa nyari-nyari kesalahan doank, ya? Hahaha, no biggie lah ya. Just so you know aja.

Selamat membaca, kawan!




----di sini kelanjutannya----

Rabu, 10 Agustus 2011

Resensi Novel Fantasi: Stephenie Meyer - The Short Second Life of Bree Tanner

Ketika nasib telah ditentukan…



Judul: The Short Second Life of Bree Tanner (Kisah Singkat Bree Tanner)
Penulis: Stephenie Meyer
Penerjemah: Monica Dwi Chresnayani
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Edisi: Hardcover
Tebal: 200 hlm
Harga: Rp65.000 (disc. 50%)
Rilis:September 2010
ISBN: 9789792261370

Bree Tanner masih terus berusaha mengingat kenangan sebelum ia akhirnya menjadi seperti sekarang, seorang vampir pengisap darah yang memiliki jadwal rutin pada malam-malam tertentu untuk berburu. Awalnya hanyalah kekosongan yang memenuhi ‘hidup’ barunya, namun semenjak bersahabat lalu makin dekat dengan Diego, dan Fred yang selalu menjadi tempatnya bersembunyi, Bree mulai menyadari ada hal lain yang perlu dikhawatirkannya ketika secara tak terencana ia dan Diego mendengar rencana busuk ketua kawanan vampir, Riley, dan perempuan yang mengubahnya menjadi vampir di sarang cinta mereka. Sampai akhirnya ia terlibat dalam sebuah pertempuran yang mempertemukannya dengan keluarga The Cullens.

Novella ini merupakan sempalan (spin-off) dari buku ketiga tetralogi fenomenal Twilight Saga, karya Stephenie Meyer. Sebagaimana disebutkannya dalam kata pengantar buku ini, Stephenie menjelaskan bahwa ia sedemikian terpikat pada sosok Bree Tanner yang sebenarnya hanya memiliki secuil peran dalam bentangan kisah Eclipse. Biasanya, dia dengan gampang mengabaikan tokoh-tokoh sekali lewat yang ia ciptakan, namun tidak pada sosok Bree Tanner, sehingga kemudian lahirlah novella ini.

Menelusuri jejak Bree cukup menghibur di tengah ketidakpastian niat Stephenie apakah ia masih akan merealisasikan rencananya untuk menuliskan kisah Twilight Saga dari sisi Edward Cullen sebagaimana pernah ia ungkapkan dulu. Bentuk buku ini yang novella juga kurasa cukup untuk sekadar ikut merasai bagaimana pergolakan batin si gadis 15 tahun yang terpaksa ikut terjun dalam pertempuran yang sama sekali tak ia pahami tujuannya itu. Selintas kisah romantis yang digulirkan penulis juga cukup memberikan warna tersendiri bagi kehidupan vampir baru yang dipenuhi nafsu memburu dan meminum darah sebanyak-banyaknya. Tak pelak, aku cukup terhibur menikmati halaman per halaman buku ini demi menunggu saat Bree akhirnya bertemu dengan kawanan The Cullens sehingga aku bisa mendapati titik persinggungan antara kisah hidup baru Bree dengan kisah panjang Bella Swan dan keluarga The Cullens.

Jujur, aku lupa pada sosok Bree Tanner dalam novel Eclipse. Yang terlintas dalam benak ketika melihat buku ini di-launching adalah sosok Riley, vampir cowok yang diperalat oleh Victoria. Tapi, ketika googling sana-sini barulah ngeh kalau Bree itu adalah si gadis kecil yang tersisa ketika pertempuran maha dahsyat antara The Cullens plus kawanan Shifters versus Victoria dan Riley berakhir dan keluarga Volturi datang ke TKP.



Meskipun tidak seratus persen, tapi aku menyukai buku ini. Aku menyukai bagaimana satu buah peristiwa dipandang dari sudut lain, oleh orang lain, dengan perasaan yang lain. Bree bukan tokoh antagonis murni, tapi kebetulan ia mendapat peran dalam kubu “si jahat” di novel Eclipse, dan aku adalah salah seorang pembaca yang mendamba bisa membaca suatu kisah yang ditulis dari PoV tokoh antagonis. Aku ingin ikut menyelami kehidupannya. Merasai segalanya sehingga terkuak alasan mengapa si tokoh itu memiliki takdir sebagai tokoh antagonis. Apakah si jahat itu sudah jahat sejak lahir ataukah ada suatu keadaan yang mengubahnya dari “si baik”menjadi si jahat. Rasanya menyenangkan bisa berenang-renang dalam kisah psikologis semacam itu.

Soal gaya menulis Stephenie atau gaya terjemahan Monica, no complain. Aku menikmatinya, itu yang utama. Plotnya sederhana, memang, karena novella ini hanyalah jembatan kecil yang dibangun Stephenie untuk membantu memahami pikiran seorang vampir baru yang masih haus darah, liar, dan tak terkendali. Letupan romansa yang ada antara Bree dan Diego juga secara mengejutkan terasa manis sekali. Nyaman rasanya melumat buku ini serupa menggigit sebutir stroberi segar yang baru dipetik. Yummy
----di sini kelanjutannya----

Minggu, 07 Agustus 2011

Resensi Buku Non Fiksi: Pandji - Nasional.Is.Me

Indonesia Gak Butuh Revolusi


Judul: Nasional.Is.Me
Penulis: Pandji Pragiwaksono
Penerbit: Bentang Pustaka
Penyunting: Ikhdah Henny
Pemeriksa Aksara: Nunung
Tebal: xiv + 330 hlm
Harga: Rp54.000
Rilis: Juli 2011 (Cet. I)
ISBN: 9786028811538

Gue bukannya mau menjelek-jelekkan negara lain, gue mau bilang bahwa Indonesia itu tidak buruk-buruk amat.

Hanya saja orang Indonesia terlalu sering fokus pada kesalahan Indonesia sehingga lupa untuk menyadari kebaikan dan potensi Indonesia.


Awal-awal tayang di MetroTV, aku selalu berusaha untuk menonton acara “Provocative Proactive” yang aku tahu dicetuskan oleh Pandji. Acaranya segar, nggak seperti acara sindiran politik lain yang terkesan nyinyir. Tapi, lama kelamaan kok ya kadang ikutan nyinyir juga. Jadilah, aku cuman sesekali waktu saja menyempatkan melirik aksi Pandji and the gank di acara itu.

Membaca buku ini juga imbas dari kegemaranku menonton acara itu. Ketika menemukannya kali pertama di stand Mizan di Pesta Buku Jakarta 2011, tak perlu berpikir dua kali untuk mencomot buku dengan kaver keren dan judul yang cukup persuasif ini. Sewaktu membacanya pun cukup menyenangkan, bahkan di saat-saat tertentu mengobarkan semangat nasionalisme yang bersemayam di kalbu. Dengan bahasa yang se-persuasif judulnya, Pandji menelusup ke bilik hati, mengetuk, dan mempertanyakan tiga hal:
1. seberapa kenal kamu pada Indonesia-mu?
2. apa passion-mu?
3. apa karya yang telah kau hasilkan untuk masa depan bangsamu?

dan aku harus merenung, mencoba mencari jawaban yang pas untuk ketiga pertanyaan itu. Ketemu? Enggak! Yang ada cuman tinggal rasa percaya diri sendiri untuk merealisasikan jawabanku atas pertanyaan itu kelak untuk masa depan bangsaku.

Pandji juga secara lantang mendaftar apa yang sudah diupayakannya untuk kemajuan Indonesia. Nyombong? Menurutku tidak. Rangkaian kalimatnya sih memang memantik rasa untuk berteriak, sok banget sih lo! Tapi justru kata itu luruh dengan sendirinya ketika tiga pertanyaan di atas kurenungkan kembali. Pandji hanya sekadar menunjukkan jawabannya atas tiga pertanyaan itu. Dia ingin pembaca terbangkitkan jiwanya untuk bertindak, untuk bergerak, untuk berikhtiar, bukan hanya diam, menggerutu, protes, mengeluh pada Indonesia.

Dalam buku ini, Pandji mengupas semangat demokrasi melalui reaksi kita pada geliat bangsa Indonesia, ketika: Timnas Sepakbola harus berjuang mati-matian menembus kompetisi internasional, apa yang kamu lakukan?; pemboman teroris yang mengoyak negeri hingga terwujud gerakan #IndonesiaUnite, apa yang kamu lakukan; dan isu-isu keindonesiaan lainnya. Sebagaimana disebutkan di bagian pengantar, buku ini semula berbentuk e-book dan disebarkan secara gratis oleh Pandji. Hal tersebut jelas menunjukkan betapa ia adalah anak muda yang mencintai negaranya secara maksimal. Dia tidak tinggal diam. Dia berusaha. Kamu? A…ku?

Oke, untuk pemeriksa aksaranya mohon untuk lebih jeli lagi yaa…masih cukup banyak typo di buku keren ini. Mengganggu sih enggak, tapi kalau lebih rapi lagi secara teknis, pasti makin siiiippp kan bukunya.

Oiya, buku ini tentu saja ditulis dari sudut pandang Pandji yang pastinya banyak sekali unsur subjektivitasnya, apalagi ada di beberapa tempat ia juga mengutip sumber yang tidak dicantumkan secara lengkap. Tidak semua juga pemikiran Pandji harus kamu (aku) terima, kan? Yang sudah jelas adalah ajakannya untuk lebih mengenali Indonesia kita tercinta, memukan passion masing-masing, agar kita bisa membuktikan bahwa kita punya karya terbaik untuk masa depan bangsa ini.

MERDEKA!

Indonesia adalah negara yang luar biasa.
Saya tahu karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri.
Bukan karena saya baca.
……
Mengubah hari ini, bisa jadi sudah terlambat. Pertanyaannya, maukah Anda jadi orang yang mengubah masa depan?
Maukah?
Ataukah Anda hanya mau jadi orang yang ngomel-ngomel saja?
(hlm. 327)
----di sini kelanjutannya----

Sabtu, 06 Agustus 2011

My Giveaway: Buku Gratis Buat Yang Mau

Ada yang mau buku-buku ini?



Yang akan aku kasih ke kamu:
2 eks. Perang Bintang by Dewie Sekar (Metropop)
1 eks. Tarothalia by Tria Barmawi (Metropop)
1 eks. Kedai 1001 Mimpi by Budi "Vabyo" Valiant
1 eks. The Iron King (terjemahan) by Julie Kagawa

Sedih pastinya kalau melihat buku bagus tapi sudah masuk kotak obralan. Bukan sekadar diskon, tapi OBRAL. Benar-benar tinggal beberapa rupiah saja buku itu dijual. Hmm, tapi selera pembaca kan beda-beda sih, ya? Kalau menurutku bagus, belum tentu menurutmu juga bagus, iya, kan?

Nah, beberapa buku di atas tadi diobral abis-abisan sama penerbitnya. Nggak tega banget rasanya. Makanya, aku dengan sukarela mencomot beberapa dari rak obralan, dan pengin kubagi gratis bagi siapa saja yang berminat. Ada yang mau?

Caranya? Seperti program giveaway dari para blogger lainnya, kamu cukup follow blog ini, dan yang beruntung nanti berdasarkan undian. Silakan, bagi yang berminat.
----di sini kelanjutannya----

Resensi Komik Islami: vbi_djenggotten - 33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, Jaga Mulut

Belajar Hadis pun bisa sambil tersenyum



Judul: 33 Pesan Nabi: Jaga Mata, Jaga Telinga, Jaga Mulut
Penulis: vbi_djenggotten
Ilustrator: vbi_djenggotten
Penerbit: Zaytuna (Ufuk Publishing House)
Tebal: 126 hlm
Harga: Rp29.000
Rilis: Mei 2011 (Cet. I)
ISBN: 9786029159004

Awalnya aku sempat melihat Kak Vera merekomendasi buku ini beberapa waktu silam, terus ketika ngebahas materi siaran untuk hari Minggu tanggal 7 Agustus nanti, buku ini kembali tersebut menjadi kandidat buku yang akan dibahas. Oke, jadinya aku menyempatkan diri ke tokbuk langganan buat mencomot buku ini, dan kayaknya lagi kena diskon...senangnya (gak tahu pasti sih, struk udah telanjur dibuang, hehehe).

Apakah urat tawaku sudah putus? Kok aku nggak nemu kocaknya nih buku sampe menjelang pertengahan, ya? Baru deh pas masuk cerita tentang 7 Golongan Dalam Naungan (hlm. 53) ke belakang, senyum-senyum kecil mulai berhamburan di bibirku. Seru juga.

Hmmm, tapi ke belakang, entahlah, aku mulai menemukan kembali kekurangsreganku pada buku ini. Banyak cerita yang dibuat seolah menyindir tokoh-tokoh (pemimpin asli) negeri ini. Bagus sih, ada sentilan-sentilun politik yang pas, tapi kok jadi kurang masuk bagi sebuah buku bermuatan agama yang pada bagian lain menceritakan seputar larangan mengolok-olok orang lain, jadinya yaaahhh.... agak sedikit kecewa...coba tokoh yang dihadirkan itu bukan tokoh nyata, tokoh rekaan saja, jadi nggak membuat pembaca bersuudzon pada si tokoh tersebut.

Aku pun tergelitik ketika pas waktu senggang baca di kantor, temen ngelihat buku ini tergeletak di meja, terus diambilnya, lalu dia bertanya, "Hadis-hadis Bukhari-Muslim itu semuanya shahih, nggak sih?" nahhh...gelagepan deh aku, iya ya, apakah semua hadis riwayat Bukhari-Muslim itu shahih? Kalo denger-denger ceramah sih yang paling banyak disitir ya hadis riwayat mereka, tapi apa benar semuanya shahih? Hmm, silakan di-googling sendiri yaaa.... Aku sih berharapnya, si pembuat bukunya hanya menampilkan hadis yang shahih saja, lebih oke lagi kalo di tiap hadis yang disitir diberikan keterangan derajat keshahihannya.

Overall, buku ini bagus. Sekalian di bulan Ramadhan, silakan dibaca buku ini. Bahkan si temen yang kuceritain tadi juga tertarik buat membacanya. Keren lah, congratz buat yang bikin.
----di sini kelanjutannya----

Selasa, 02 Agustus 2011

Resensi Novel Teenlit: Ken Terate - Pieces of Joy

“…Kami ini laki-laki, Joy, bukan dukun. Kami nggak bisa membaca pikiran.” Ronal. (hlm. 159)



Judul: Pieces of Joy (Buku #3 - My Friends My Dreams)
Penulis: Ken Terate
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Kategori: Teenlit
Tebal: 248 hlm
Harga: Rp40.000
Rilis: Juli 2011
ISBN: 9789792271263

Joy
Ahh, aku punya cowok? Yang benar? Serius? Aku? Si gadis buntelan pemilik ladang jerawat paling produkstif se-Indonesia? Bohong! Eh, tapi cowok itu, Stink namanya, benar-benar perhatian padaku, dan…ahhh, serius dia nembak aku. Aku tak mungkin menolaknya. Aku langsung menerimanya. Meskipun dia cowok aneh, plinplan, dan nggak jelas begitu. Sayang, dua temanku, Marcella dan Wening tak pernah bisa klop sama Stink. Teman seharusnya mendukung teman yang lain, kan? Aku yakin mereka pasti bisa menerima Stink suatu saat nanti. Entah kapan. Yang pasti harus secepatnya, karena sekarang aku selalu degdegan tiap berdekatan sama Ronal. Nah, lho? Gimana donk? Stink apa Ronal? Ronal apa Stink? Duh, jatuh cinta itu rumit, ya? Apalagi cinta pertama!

Walahhh, saya malah tak tahu kalau Ken sudah menerbitkan buku ketiga dari seri My Friends My Dreams-nya ini. Sudah pasti saya blingsatan begitu melihat novel ini ada di tumpukan new release salah satu toko buku langganan window shopping saya. Tak langsung saya beli, mengingat masih banyak tumpukan utang buku yang belum dibaca. Namun, ketika harus window shopping lagi ke toko buku, saya tak bisa menahan godaan itu. Dan, tercomotlah buku ini. Catatan buat diri sendiri: kurangi window shopping, bayar dulu utang baca buku yang sudah numpuk di lemari itu. #bahhh

Bagi saya, kisah persahabatan tiga dara SMA, Marcella-Joy-Wening selalu memikat sejak saya membaca seri pertamanya yang jadi juara tiga Lomba Penulisan Novel Teenlit beberapa tahun silam. Sejak saat itu, saya jadi fans Ken Terate. Semua bukunya, insyaAlloh, sudah saya lahap. Dan, pada setiap bukunya saya selalu tersepona. Haduhhh. Nagih banget tulisannya. #gawatttt

Oke, kali ini pun, kisahnya tetap kocak, as usual. Kalimat hiperbola, ungkapan-ungkapan pintar nan menggelitik, dan dialog yang mengalir lancar adalah segudang kepiawaian dari penulis ini. Pemilihan Joy sebagai pusat perhatian juga sangat tepat, karena sudah pasti ia memiliki sekardus cerita yang bisa dicurhatkan. Typically ABG masa kini yang ribet soal penampilan, persahabatan, dan kegalauan soal cowok. Konfliknya oke. Latar belakangnya juga oke. Bumbu penyedapnya pun tak ketinggalan, oke juga. Tak banyak penulis yang mempu menonjolkan tokoh utama dengan menjaga karakter lain tetap dapat mencuri adegan. Jelas, Marcella, Wening, Stink, dan Ronal, mampu mencitrakan dirinya masing-maisng. Tidak tenggelam oleh akting Joy yang sempurna.

Nah, apa donk yang kurang dari novel ini? Hmm, apa yaaaaa…? Kurang tebal, pastinya, hahahaha. I WANT MORE! Hehehehe. Kalau menilik bab-bab akhir sih, agak kelihatan masih bakalan ada next story, Wening, maybe, with Lantip? Hahahaha. I hope so.

Untuk typo, ada beberapa kata yang musti disesuaikan. Dan ada satu kalimat yang ketinggalan satu kata, “….masa sih kita harus melakukan hal yang sama dari ke hari?” (hlm. 121), sepertinya perlu ditambahkan kata “hari” sehingga menjadi “dari hari ke hari?”, iya, nggak, sih? Selebihnya… mulus. Good job, Ken.
----di sini kelanjutannya----