Minggu, 28 Maret 2010

(2010 - 1) Resensi Novel Fiksi Dewasa: Sanie B. Kuncoro - Garis Perempuan

Pilihan Empat Perempuan Perawan



Judul: Garis Perempuan
Pengarang: Sanie B. Kuncoro
Penyunting: Imam Risdiyanto
Desain sampul: Kebun Angan
Pemeriksa aksara: Pritameani
Pemerhati aksara: Ari Y.A.
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Distributor: Mizan Media Utama
Tema: Perjuangan, Perempuan, Perawan, Pilihan
Tebal: x + 378 hlm
Harga: Rp54.500 (diskon GRI: Rp42.000)
Rilis: Januari 2010

Aku membayangkan Dian Sastro sebagai Tawangsri, Rachel Maryam sebagai Gendhing, Happy Salma sebagai Ranting, dan Dominique sebagai Zhang Mey, jika novel ini bertransformasi menjadi film. Hmm, kira-kira ada tidak ya yang berniat membingkai karya tulis ini menjadi sebuah karya visual dalam layar perak. Semoga saja.

Oiya, aku membaca novel ini karena “teracuni” teman-teman baruku di GRI (Goodreads Indonesia), dan untung saja aku mendapatkan copy novelnya dengan potongan harga berkat mereka. Sedap. Terima kasih teman-teman.


Baiklah, mari kita bahas novel yang kata penulisnya adalah novel pertamanya ini (loh, terus Ma Yan novel ke berapa? Bukannya lebih dulu terbit, dan itu di cover depan novel ini tertulis “Penulis Bestseller Ma Yan”, maksudnya apa?)

Perempuan menjadi topik tak berujung untuk selalu diulas. Beragam liku-liku peran akan disematkan pada makhluk indah ciptaan Tuhan ini. Mulai dari yang “sekadar” peran sampingan hingga peran dramatis pengundang kontroversi. Dan, novel ini memilih mengangkat perempuan pada banyak peran. Meski kesemuanya bermuara pada dramatisasi kontroversi.

Alkisah, mengalirlah denting dawai kehidupan empat perempuan dengan nama-nama yang sudah kusebutkan di muka. Ada sosok Ranting yang harus rela memasrahkan mustika keperempuanannya sebagai istri ketiga pada sosok tuan besar yang ‘berjasa’ mengentaskannya dan keluarganya dari tubir jurang kemiskinan meskipun pada akhirnya Ranting lebih memilih melacurkan diri pada lelaki itu. Tersebut juga kisah Gendhing yang terbelit pilihan sulit antara menghadiahkan selaput daranya pada laki-laki yang sanggup ‘membelinya’ ratusan juta untuk melunasi utang keluarganya ataukah mempertahankannya namun dengan risiko dia menjadi ‘babu’ yang senasib dengan kedua orang tuanya. Selanjutnya, ada Tawangsri yang merasa menemukan memori hangat dekapan seorang ayah pada sosok duda beranak satu yang ditemuinya secara tidak sengaja, tetapi dia teradang keraguan batin ketika hendak menyerahkan harta paling berharganya demi menyadari bahwa ada masa lalu yang sulit dikompromikan pada laki-laki itu. Terakhir ada Zhang Mey yang terbelenggu tradisi etnisnya untuk harus mampu mempersembahkan percikan darah perawan di atas saputangan pada lelaki yang ditunjuk sebagai suaminya meskipun gelenyar cintanya justru terpaut pada sosok iniren yang tak memenuhi persyaratan keluarganya untuk dipertimbangkan sebagai menantu.

Empat perempuan diikat dalam empat lakon yang dialirkan dengan serangkaian kalimat yang mendayu-syahdu oleh Sanie. Tak bisa kusangkal bahwa kemampuan olah kalimatnya begitu memesona. Membanjiri kesadaranku akan keindahan kata-kata. Ini adalah guyuran kenikmatanku, karena aku ingin mendeklarasikan diri sebagai pelumat keindahan kata-kata. Namun demikian, puntiran-puntiran kalimat Sanie kadang juga agak menjemukan karena kegemarannya untuk over used pada kata-kata tertentu. Aku mencatat ada kata “bergeming”, “terperenyak”, “suwung”, dan “lalu”, yang kadang digunakan terlampau sering. Yang agak mengganggu nikmatnya kunyahanku pada novel ini adalah kata “lalu”. Seolah-olah Sanie kehabisan ide untuk mencari padanan kata lain demi menyambung paragraf-paragraf yang diciptakannya. Ini seperti ketika ada yang bercerita, “…habis bangun lalu aku mandi, habis mandi lalu aku makan, habis makan lalu aku sikat gigi, habis sikat gigi lalu aku nonton tipi.” Tidak salah, dan juga hak penulis untuk menggunakannya, tapi bagiku penggunaan kata itu sungguh agak mengganggu. Satu tanya tersembul adalah, apakah tidak ada kata lain sebagai pengganti kata lalu, sehingga tidak terkesan over used begitu? Meskipun demikian, penggunaan kata-kata over used itu tak lantas membuatku mendadak mual.

Kejemuan pada segala keindahan susunan kalimat dalam novel ini juga timbul dari kesan serba tahu dari si penulisnya. Pada beberapa bagian, aku terpaksa skip dan berpindah cepat ke halaman berikutnya. Ini yang aku kategorikan sebagai kalimat menye-menye. Terlalu bertele-tele meskipun masih tetap dapat dikoneksikan dengan situasi dan kondisi yang dialami para pelakonnya. Namun, tetap saja bentukan kalimat tersebut mengingatkanku pada novel Laskar Pelangi yang juga kubaca loncat-loncat sangking banyaknya kalimat hiasan sebagai pengantar pada inti paragraf utamanya. (Yang akhirnya nggak selesai dibaca juga).

Hmm, kesan serba tahu ini mnejadi kontradiksi ketika di awal mendongeng, Sanie hanya menyebut “tanaman parasit yang berupa sulur-sulur kuning menjalar pada ranting-ranting dan dedaunan” (hlm: 4), “sulur-sulur kuning yang ruwet bergumpal memanjang”. Apa iya, tidak ada ahli Biologi yang telah menemukan nama untuk tumbuhan parasit yang mengibakan sekali karena tidak terkenal itu? Ataukah sebagaimana kata oom Google yang ketika aku ketikkan kata, “tumbuhan parasit sulur kuning,” membawaku bertamasya ke beberapa situs yang mengidentifikasi sulur-sulur itu sebagai tumbuhan dengan nama “tali putri”? Well, bukan sesuatu yang maha-penting sih, tapi agak mengganggu bagiku jika di lembar-lembar berikutnya si penulis dengan fasihnya menebarkan beragam informasi dari pengetahuan teknologi kereta api Shinkanzen hingga migrasi kupu-kupu raja, namun hanya menyematkan istilah “sulur kuning” pada tumbuhan yang jamak dijumpai itu.

Kritik lain yang aku berikan adalah suasana permainan “pasaran” yang ada di pembukaan novel. Kalau boleh jujur, permainan masa kecilku adalah bercampur-baur dengan teman-teman laki-laki dan perempuan. Kadang bermain drama, kadang bermain gedrik gunung, bahkan juga pasaran, jadi paling tidak aku juga pernah merasakan bagaimana jalannya permainan itu. Dan, seingatku dialog-dialog percakapan kami tidak sekaku itu. Aku merasa kurangnya unsur riang dalam setiap luncuran percakapan para tokoh-tokoh ciliknya itu.

Ketidak’sreg’anku yang lain adalah kenapa ketika cerita Tawangsri, modelnya dibuat berbeda. Jikalau pada kisah ketiga yang lain, si tokoh laki-lakinya tak bisa diketahui pasti keseharian dan pemikirannya, kenapa yang di waktu cerita pasangannya Tawangsri, si tokoh laki-laki itu diberikan hak untuk menguraikan pikirannya?

Walah, aku selalu begini. Memberikan kritik pada bagian-bagian yang nggak penting, meskipun bagiku pribadi sih itu perlu untuk menyempurnakan kenyamananku mengikuti aliran plot yang dibangun si penulis cerita. Cerita sebagus apapun jika dalam membawakannya (termasuk kemasan dan cetakannya) tidak membuatku sreg ya…tidak akan berhasil membuatku puas.

Overall, aku suka dengan novel ini. Dan kalau harus menetapkan tokoh favorit di novel maka aku memilih Cik Ming sebagai tokoh perempuan favorit dan ayah Zhang Mey sebagai tokoh laki-laki favorit.

Hmm, ada beberapa pemikiran yang akan segera kucatat untuk dapat kubawa pada diskusi bookclub GRI berikutnya jika rencana temanya jadi mengangkat buku ini untuk didiskusikan.

Rating: 3,5 dari 5 bintang.

PS: kenapa sih namanya Tawangsri? Awalnya aku selalu membacanya Tawangsari lohh…

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya suka ini. saya justru suka komentar-komentar abang pada detail-detail yang abang anggap tak penting. sungguh... setiap penulis pasti bangga punya kritikus seperti abang. sangat detail dan rinci. saya uga mau lho buku saya dikritisi seperti ini. :D

Posting Komentar