Jumat, 23 Desember 2011

[Update] My First Giveaway

Hmmm, tiba-tiba kepengen share buku-buku yang siap kukirimkan kepada teman-teman yang sudah ikutan program giveaway pertama di blog ini. Nah ini dia update buku-bukunya:



Dan, aku juga bikin video singkat tentang buku-bukunya. So, total buku yang akan kubagikan adalah 15 eksemplar. Detailnya pas tahun baru yaaaaa.....



Haha, ini dia video amatir yang kuunggah ke youtube:


----di sini kelanjutannya----

Senin, 19 Desember 2011

Resensi Novel: Satin Merah by Brahmanto Anindito & Rie Yanti

Lah, ending-nya kok kayak adegan Misteri Ilahi, yakkk?
Read from November 24 to December 18, 2011
3 out of 5 star



Judul: Satin Merah
Penulis: Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penyunting: Widyawati Oktavia
Proofreder: Christian Simamora & Gita Romadhona
Pewajah Sampul: Dwi Annisa Anindhika
Penata Letak: Dian Novitasari
Penerbit: Gagas Media
Tebal: xiv + 314 hlm
Harga: Rp37.000
Rilis: 2010 (cet. 1)
ISBN: 978-979-780-443-5

Nindhita Irani Nadyasari, atau yang lebih akrab dipanggil Nadya, selayaknya remaja mana pun yang ingin eksistensinya diakui oleh orang-orang di sekitarnya, karena menurutnya selama ini orang-orang selalu meremehkannya, termasuk orangtuanya yang dirasanya lebih menyayangi adiknya. Melalui usaha gigihnya, siswi SMA Priangan 2 Bandung ini berhasil masuk dalam jajaran finalis Siswa Teladan se-Bandung Raya. Untuk terus melaju dalam kompetisi ini, Nadya diharuskan menyusun sebuah makalah yang akan dinilai oleh juri. Maka, keseharian Nadya selanjutnya diisi dengan petualangannya mencari ide, mengumpulkan data, dan merupakannya secara nyata dalam print out yang harus dikirim ke dewan juri. Beruntung, ia dapat terhubung langsung dengan sastrawan-sastrawan besar Sunda sebagai rujukan sumber informasinya. Namun, tentu saja, liku-liku perjuangan Nadya menyusun makalahnya itu tak selalu berjalan mulus. Bahkan selanjutnya, satu demi satu narasumber yang diwawancarainya terbunuh secara misterius. Ada apa dengan para narasumber itu? Apa hubungannya dengan teori Satin Merah yang dikembangkan oleh salah seorang sastrawan besar Sunda? Lalu, apakah akhirnya Nadya berhasil menggenggam titel Siswa Teladan se-Bandung? Temukan jawabannya di dalam novel duet Brahmanto Anindito dan Rie Yanti ini.

Wow. Wow. Speechless. Aku jelas tak sering membaca novel dengan tema unik seperti ini. Bagus. Menurutku agak menjurus psychological thriller gitu. Sebaiknya sih dibaca sekali habis, biar intensitasnya terjaga. Bagiku yang gampang ter-distract membaca dengan teknik taruh-ambil-taruh-ambil agak mengurangi ketegangannya. Ditambah lagi aku yang sudah mulai pelupa, sehingga suatu detail gampang sekali missing dan harus mengais-ngais lagi ketika meneruskan baca dan menemukan adegan yang terkoneksi dengan detail yang terlupa itu.

Jujur saja, membaca kata pengantar dari novel ini saja, aku langsung suka. Terasa benar perbedaan nuansa yang akan kudapat ketika membacanya. Dan, benar saja. meski pada awalnya sosok Nadya tak ubahnya seperti gadis SMA kebanyakan, namun nyatanya duo penulis novel ini membebaninya dengan tugas menjadi unpredictable person sepanjang cerita. Sangat terasa bagaimana unsur psikologi menjadi pengait bagi setiap adegannya. Sebagai pembaca, aku dibuat terombang-ombing dengan sikap Nadya yang labil. Terkadang manis, terkadang sinis, dan terkadang bengis. Wow.

Meskipun demikian, jangan berharap duo penulis ini menghadirkan seorang tokoh detektif yang mencoba mengurai fakta. Aku justru disuguhi emosi nyata dari pelaku. Penulis menghanyutkanku dalam dilema besar seorang Nadya yang ambisius. Aku pun dari mula sudah diperkenalkan siapa pelaku, siapa korban, dan bagaimana pelaku menghabisi korbannya. Jadi, sisi misterius itu memang tidak dibungkus sejak awal. Apa sebab? Aku nggak tahu.

Ada topik besar yang coba dihadirkan oleh duo penulis ini, sepertinya. Me? I don’t know. Hahaha. Typically, Nadya is a rich girl. Dia butuh diperhatikan. Dia menuntut keadilan. Perlakuan seimbang dari orangtuanya. Respek dari teman-teman sekolahnya. Kebanggaan dari para gurunya. Dia sudah mendapatkannya, namun dia membutuhkan lebih banyak lagi. Dia tak mau menjadi Nadya yang biasa saja. Sebagaimana tersirat dalam tagline novel ini, “aku cuma ingin jadi signifikan.”

Zaman SMA dulu, aku pernah membuat sebuah cerpen amatiran bertema pembunuhan/pemerkosaan yang dikoreksi oleh guru bahasa Indonesiaku, dan beliau mengingatkanku untuk selalu memberikan alasan rasional bagi setiap konsekuensi yang aku sematkan pada masing-masing tokoh. Dan, sedikit banyak aku dapat melihatnya di novel ini. Mengapa Nadya tumbuh menjadi remaja seperti itu. Apakah sikap Nadya itu termasuk yang impulsif ataukah memang terbentuk dari sejak ia kecil. Flashback di salah satu bagian novel ini menjawab semua pertanyaanku terkait hal itu.

Dari semuanya, yang membuatku tercengang [sayangnya, dalam arti negatif] adalah endingnya. Oh, GOD! Apakah mereka serius mengakhiri serangkaian misteri ini dengan adegan itu. Aseli, sepertinya mulutku langsung ternganga gitu dan... aku tak mau percaya bahwa penulis memilih ending yang.... ah, masak dibikin gitu sih?. Absolutely, ini unsur subjektifku. Mungkin aku harus membaca ulang lagi [nanti] untuk memecahkan misteri yang masih berputar di kepalaku, mengapa penulis memilih ending begitu? Huhuhu.

Overall, novel ini menarik. Terlepas dari mengapa pelaku begitu mudah menghabisi korban-korbannya [telah dibeberin modusnya sih], emosiku dibuat teraduk-aduk karena masih nggak percaya penulis dengan ‘tega’ mengubah tokoh utama yang awalnya lovable itu. Sebagai pembaca cerewet yang gampang nyerah disuruh menggunakan ‘logika’, aku butuh sekali banyak penjelasan atas beberapa adegan yang ada.

Oiya, aku teriak donk ya, mana unsur romantisnya? Kalau boleh berangan-angan, sepertinya akan lebih menarik jika ada sesosok kekasih di sisi tokoh utama. Bisa jadi partner in crime [jadi inget film Radit dan Jani]. Seru aja gitu [dalam bayanganku].

Typo-nya dikit, selamat ya.

Ngomong-ngomong, masih terjadi perdebatan dalam menafsir sampulnya [atau itu halusinasiku aja, ya?]. Beberapa temen bilang itu kain satin [secara judulnya satin, kan? tuhh, di sebelah contoh kain satin], tapi aku menganggapnya tetes darah yang dituang dalam air. Lagipula, Satin yang dimaksud dalam judul tidak berarti harfiah, kan?

Selamat membaca, kawan!
----di sini kelanjutannya----

Selasa, 13 Desember 2011

I do apologive for my giveaway (Yang Terlambat)

Berapa bulan? haduhhh...udah berbulan-bulan, ya?



Kumohonkan maaf yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang sudah dengan antusias mengikuti program ini. Saya sendiri sebal, kesal, dan ingin mencakar diri sendiri kalau ingat belum memilih dan mengumumkan siapa yang akan saya kirimi buku yang saya janjikan. Saya tak akan memberi alasan, karena nanti hanya akan terlihat saya mencari-cari alasan belaka. Dan, saya tidak ingin berjanji muluk-muluk lagi, yang jelas sebelum bunyi terompet tanda terbitnya matahari baru di tahun 2012, saya akan melaksanakan program my first giveaway ini.

Again, I am really sorry for this inconvenience. Secepatnya di blog ini, twitter, facebok, dan akun goodreads, saya akan mengumumkan siapa teman yang memperoleh buku koleksi my giveaway ini.

I do really apologize, temans! Thank you for your patience.
----di sini kelanjutannya----

Resensi Novel Fantasi Terjemahan: Once a Witch by Carolyn MacCullough

Read from November 27 to December 06, 2011, read count: 1
3,5 star...





Kerumitan dunia sihir

Bagian awal novel ini tidak memberikan sensasi kejut yang hampir membuat saya berhenti karena bosan. Apalagi dari segi kalimat per kalimatnya terasa sulit dicerna otak saya yang pas-pasan ini. Entahlah, apakah dari novel aslinya memang sulit ataukah tersebab gaya penerjemahannya. Saya tak tahu. Yang jelas, memang ada sedikit ganjalan ketika menyimak rangkaian kalimatnya. Banyak sekali adegan yang dibuat dengan kata berulang:

...meliuk-liukkan jari-jari tangannya dalam gerakan-gerakan rahasia, berkomat-kamit dalam bahasa yang hanya diketahui olehnya saja.

Liuk-liuk, jari-jari, gerakan-gerakan, komat-kamit...hmm, begitu banyak kata berulang dalam satu baris kalimat saja. Dan, hal tersebut terjadi hampir di banyak bagian novel ini. Saya jadi kepengin mengecek naskah aslinya, apakah adegan tersebut memang berulang. Just curious.

Untunglah, saya tidak jatuh dalam kebosanan yang berkelanjutan. Begitu sampai pada adegan Tamsin, Rowena, dan Alistair dipertemukan dalam satu scene, suasana mencekam dunia sihir kuno mulai menyedot perhatian saya. Dimulai dari situlah, Once a Witch menyihir saya hingga ke lembar halaman terakhirnya. Beruntung, saya memutuskan untuk membeli novel Young Adult yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Ufuk yang harganya dipotong 40% ini di Indonesia Book Fair 2011 beberapa waktu lalu.

Pada saat ini, menemukan cerita Young Adult bertema paranormal atau supranatural dengan taburan tokoh-tokoh dunia dongeng: vampir, werewolf, peri, shifter, menjadi sangat mudah. Namun, menemukan novel paranormal atau supranatural dengan racikan baru lah yang susah. Bagi saya, Carolyn berhasil menemukan ramuan baru dengan membangun sebuah dunia sihir kuno yang suram, mencekam, dan sulit ditebak bagaimana ujungnya. Meskipun tidak terlihat adanya makhluk-makhluk aneh dunia ghaib, namun beberapa unsur fantasy mampu menjaga intensitas ceritanya.

Kisah tentang penyihir ber-Talenta, perjalanan melintas waktu, perjanjian berdarah, pertarungan hidup-mati antara penyihir putih dan penyihir hitam, adalah unsur-unsur fantasy yang cukup untuk membawa imajinasi saya bergentayangan menembus batas-batas logika dan rasionalitas. Meskipun, premisnya tetaplah sama, penyihir putih dijamin menang, namun Carolyn mampu menjaga konfliknya agar ending tidak berakhir dengan mudah. Ia menyelipkan twist di sana-sini yang bikin saya gemes. Dan, saya yang sudah menyadari bahwa buku ini memiliki sekuel tidak lagi merasa canggung begitu ending dibuat menggantung.

Namun, meskipun berhasil membuat ramuan baru, toh sebenarnya hal tersebut bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Tapi, saya tak akan menghakiminya. Pada kondisi saat ini, saya cenderung mengabaikan kebaruan cerita. Apabila ketika membaca merasa menemukan sesuatu yang baru ya... “alhamdulillah ya, sesuatu banget..” tapi kalau tidak ada yang baru ya nggak papa, lha penulis dan buku yang terbit saat ini sudah jutaan, wajar saja jika ada satu-dua adegan atau bahkan benang merah yang hampir sama satu dengan yang lain. Asal tidak secara terang-terangan menjiplak saja. Di novel ini, saya kebayang serial Heroes, serial X-Men, Harry Potter, bahkan Vampire Academy. Ya sudahlah, dinikmati saja.

Tokoh Tamsin dengan mudah menarik perhatian. Dia yang diprediksikan oleh sang nenek akan menjadi yang paling kuat di antara keluarganya justru tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia memiliki Talenta luar biasa. Di sini, bayangan saya meluncur pada sosok Harry Potter yang baru menyadari bahwa dirinya adalah seorang penyihir ketika disambangi Hagrid dan diundang bersekolah ke Hogwarts. Tamsin, meski dengan jalan yang berbeda, hampir memiliki garis nasib yang sama dengan Harry Potter, bahwa pada akhirnya dia tahu dia juga ber-Talenta. Bahkan, sesuai dengan ramalan, ia memiliki Talenta yang luar biasa yang diincar oleh sang penyihir hitam.

Karakter Gabriel sangat cocok disandingkan dengan Tamsin. Gelenyar asmara di antara mereka berhasil membumbui alur maju mundur yang disusun oleh Carolyn sehingga tak jarang menerbitkan sesimpul senyum di bibir dan keinginan untuk bilang, “ohhh...co cwittt...” dengan gaya Fitrop.

Pada akhirnya, ending menggantung memang bikin nanggung. Saya terpaksa harus menunggu buku keduanya untuk mengetahui kelanjutan kisah ini. Apakah akan semakin suram ataukah akan ada banyak sisi cerah yang dihadirkan oleh Carolyn. Dan, by the way, ini akan jadi berapa seri? Trilogi? Tetralogi? Apa banyak-logi? Semoga cukup beberapa seri saja.

Kelemahan mendasar dari novel ini, bagi saya, adalah kerumitan kalimat-kalimatnya. Termasuk gaya pengulangannya sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya. Nanti saya coba bandingkan dengan edisi bahasa Inggrisnya deh.

Konflik utama baru menyentuh beberapa karakter saja, padahal konflik tersebut berpotensi menjadi sangat besar, sebesar ancaman Voldemort bagi dunia sihir Harry Potter. Di novel ini, ancaman itu masih terbatas pada keluarga Tamsin dan beberapa karakter selingan di lingkungan mereka. Saya berharap konflik berkembang secara signifikan di buku berikutnya.

Saya sudah menyiapkan diri untuk menemukan typo ketika membaca novel ini, berdasar pengalaman membaca novel produksi penerbit ini, tapi saya tetap saja terkejut dengan jumlah temuan saya, satu strip post-it penanda typo saya habiskan untuk novel ini. Berikut adalah beberapa temuan typo tersebut:

(hlm 9, 90, 220) tanda baca titik (.) tidak ada
(hlm 16) ras = rasa
(hlm 30) menggeluyur = mengeluyur (berkeliaran = kata dasar keluyur?)
(hlm 40) terselip tanda baca (?) yang tidak perlu
(hlm 42) ...cokelat. “kesukaanmu,” kata Silda.... huruf k pada kata kesukaanmu harusnya kapital
(hlm 64) Mendadak, ibuku mendadak muncul.... redundansi kata “mendadak”
(hlm 68) seksama = saksama
(hlm 90) pertam = pertama
(hlm 121, 127) konsistensi penulisan frekuensi ke dua dan kedua (belum tahu juga sih, beda penggunaan di antara keduanya)
(hlm 126) Bagaimana kalau kita benar-benar, benar-benar hati-hati? ...redundansi kata benar-benar.
(hlm 132) Tidak, dialah mendekat dan mengajakku menarikan dansa itu. ....lebih enak terdengar jika diselipkan kata “yang” di antara kata “dialah” dan “mendekat”.
(hlm 141) bebisik = berbisik
(hlm 157) gosokkan = gosokan
(hlm 158) ...hampir terlompat keluar dari kulitku saat sesuatu berbisik di lenganku... #eh? Berbisik itu bukannya kategori indera pendengaran ya? Berbisik di kulit? Maksudnya apa?
(hlm 169) ...keberatan untuk untuk naik kereta, tapi ibuku... redundansi kata “untuk”.
(hlm 195) dipenuh = dipenuhi
(hlm 239) ...yang marah muncul ke di lengannya. ....redundansi kata “ke”.
(hlm 242) “Toh aku tidak sedang sedang menggunakan... redundansi kata sedang.
(hlm 260) mantra itu jangkauan tidak terlalu jauh. ...sebaiknya ditambahkan “nya” pada kata “jangkauan”.
(hlm 264) menengggelamkan = menenggelamkan
(hlm 280) merubah = mengubah
(hlm 292) menganggantungkannya = menggantungkannya
(hlm 302) Tam, aku ada bar di Lion’s Head. ...melihat konteks kalimat yang tidak merujuk pada kepemilikan bar tersebut, maka sebaiknya diberikan tambahan kata “di” di depan kata “bar”.
(hlm 303) Agatha terkikik-kikik sedikit, Agatha-nya kikikan khas Agatha dengan dua nada tinggi.... kalimat ini rancu, saya tak paham maksudnya. Mungkin lebih baik kata “Agatha-nya” dihilangkan saja.
(hlm 309) Gabriel memberikan menanggapi dengan suara datar... lagi-lagi kalimat rancu, lebih baik dihilangkan kata “memberikan” atau mengubah kata menanggapi menjadi “tanggapan” atau “respons”.
(hlm 319) ...dan aku melempar pisau ke itu ke pojok ruangan.... redundansi kata “ke”, sebaiknya “ke” yang pertama dihilangkan.
(hlm 322) ...membuka mulutku. tak ada kata. Aku tidak... huruf t pada kata “tak” seharusnya kapital.
(hlm 337) tengah-tenah = tengah-tengah
(hlm 359) cengeramannya = cengkeramannya

Sebenarnya masih ada beberapa lagi typo setelah halaman 359 itu, namun dikarenakan persediaan post-it saya habis, saya tak lagi kuasa menandainya sehingga terlupa di mana saja typo tersebut. Cukup mengganggu, bagi saya. Karena lumayan banyak typo-nya. Dan, sudah pasti lewat dari batas toleransi typo yang saya tetapkan (5 kesalahan). Semoga saja, pada cetakan selanjutnya (jika akan dicetak ulang) atau novel lain terbitan Ufuk dapat ditingkatkan kualitas cetakannya.

Yang saya salut sih, Ufuk ini sangat memanjakan pembaca dengan memberikan keadilan bagi pembaca Indonesia untuk mendapatkan cover sesuai buku aslinya (versi lain). Hampir beberapa buku terjemahan diterbitkan dengan cover aslinya. Dan, saya kebetulan memang menyukai cover-cover novel Young Adult versi aslinya.

Baiklah, ini hanyalah sekadar review subjektif saya. Bagi Anda penyuka Young Adult, tak ada ruginya mengoleksi buku ini. Selamat membaca, kawan!
----di sini kelanjutannya----